Pada 9 Maret 1945 atau 73 tahun yang lalu, Amerika Serikat melakukan serangan ke Tokyo yang kemudian dicatat sebagai serangan udara paling mematikan yang pernah dilakukan oleh manusia. Jumlah korban melebihi bom atom yang dijatuhkan di Hirosima dan Nagasaki.
Serangan yang dilakukan dengan sandi Operasi Meetinghouse tersebut telah menghujani Tokyo dengan bom-bom kecil tetapi sangat mematikan. Bom-bom yang turun dengan pelan tersebut adalah bom M-69 yang menggunakan pembakar kimia E-46. Bom ini juga dikenal sebagai fire bomb alias bom api.
E-46, satu dari beberapa jenis pembakar yang digunakan dalam serangan tersebut, dijatuhkan satu mil di atas kota. Ketika dijatuhkan bom yang dibangun di Mays Landing, New Jersey tersebut terlihat seperti bom biasa.
Tetapi ketika casing terbuka maka akan keluar sembilan 47 tas wol kecil yang turun pelan. Ketika dia jatuh tidak ada ledakan atau gelombang kejut. Tidak ada kaca pecah atau bangunan yang bergetar. Tetapi saat jatuh mereka melontarkan sangat banyak percikan api yang membakar apa saja.
Ini adalah serangan aneh dan lamban. Sirene serangan udara naik meraung saat malam hari kemudian disusul deru pesawat di tengah kegelapan. Tak lama kemudian api berkobar di mana-mana. Kepanikan besar terjaadi.
Segera kebakaran memakan blok kota dan terus menyebar ke blok-blol lain. Tokyo benar-benar menjadi lautan api.
Di atas langit 300 pengebom strategis terbesar di dunia saat itu, Boeing B-29 Superfortress terbang menghujani Tokyo. Operasi Meetinghouse dicatat sebagai satu-satunya serangan udara paling mematikan dalam sejarah manusia, dengan jumlah korban tewas yang lebih tinggi daripada serangan Hiroshima atau Nagasaki atau serangan api di Dresden, Jerman dan pemboman strategis kota-kota Jerman seperti Berlin.
Jumlah tewas dalam serangan udara yang digelar pada 9-10 Maret 1945 memang masih diperdebatkan. U.S. Strategic Bombing Survey, 1945 merilis data yang tidak wajar yakni ‘hanya’ 88.000 orang meninggal dalam serangan tersebut.
Tetapi Elise K. Tipton, profesor studi Jepang di University of Sydney, Australia memperkirakan korban mencapai 200.000 orang alias seperlima juta.
Selain itu lebih d dari 1 juta orang kehilangan tempat tinggal. Korban terus bertambah karena banyak warga yang mengalami luka bakar, penyakit dan kekurangan gizi dalam beberapa hari dan minggu setelah pengeboman berlangsung.