Pada era Perang Dingin dunia diwarnai dengan pengembangan rudal balistik antar benua (ICBM) yang bisa membawa senjata nuklir dan rudal jelajah yang bisa diluncurkan dari kapal dan pesawat terbang.
Sekarang ini, seperti era Perang Dingin, rudal juga kembali mengambil tempat dalam persaingan antarnegara. Bedanya, kali ini tidak fokus pada muatan yang dibawa, tetapi pada sistem pengirimannya.
Rudal yang bisa terbang dengan kecepatan hipersonik bisa membuat pertahanan rudal global tidak berguna, dan jika dibiarkan, bisa menjadi perlombaan senjata global berikutnya di antara bangsa-bangsa di dunia.
Ada dua jenis rudal yang dikejar dalam kelas ini yakni hypersonic cruise missiles (HCM) atau rudal jelajah hipersonik dan hypersonic glide vehicles (HGV) atau kendaraan luncur hipersonik. Keduanya dikejar sejumlah negara terutama dipimpin oleh China, Rusia, dan Amerika.
HCM pada dasarnya adalah rudal jelajah yang lebih cepat, dan HGV pada dasarnya adalah pengganti kendaraan re-entry konvensional yang diletakkan di ICBM.
Dari keduanya, HGV lebih mudah untuk dibuat, karena mereka hanya harus mengatasi salah satu dari tiga hambatan – ilmu material.
HGV diletakkan di atas ICBM. Ketika mereka mencapai ketinggian maksimum mereka berpisah dari rudal dan meluncur di atas atmosfer ke sasaran mereka pada kecepatan hipersonik.
Karena kecepatan hipersonik mereka, mungkin tidak perlu ada bahan peledak pada senjata itu sendiri, karena energi kinetik bisa cukup kuat sehingga menyebabkan kerusakan di area terbatas – meski tidak setara dengan ledakan nuklir.

Apa yang membuat kedua senjata begitu mengancam adalah kenyataan bahwa mereka dapat bermanuver, yang berarti mereka dapat mengubah arah kapan saja dan menjaga rahasia target yang dituju sampai beberapa saat sebelum dampaknya.
Rudal saat ini bisa dicegat karena jalur penerbangan mereka ditentukan oleh momentum dan gravitasi. Sebagian besar, meski tidak semua, pertahanan rudal anti-balistik seperti THAAD dan Aegis Ashore memerlukan proyektil untuk membuat kontak fisik agar berhasil mencegat, atau dia harus cukup dekat ketika meledak sehingga pecahan peluru dari ledakan dapat merusak rudal yang masuk.
Karena HCM dan HGV dapat bermanuver, dan ditambah dengan fakta bahwa mereka terbang dengan kecepatan tinggi seperti itu, intersepsi rudal semacam itu hampir tidak mungkin dilakukan.
Risiko Senjata Hipersonik
Proliferasi teknologi yang luas ini bisa berakibat pada meningkatnya risiko konflik dan destabilisasi, terutama saat senjata-senjata ini dipersenjatai dengan muatan nuklir.
Menurut sebuah laporan tentang senjata hipersonik yang diterbitkan oleh RAND Corporation, pemerintah mungkin sangat memperhatikan kemampuan serangan pertama, karena waktu respons untuk senjata ini begitu singkat, sehingga mereka dapat dipaksa untuk melakukan tindakan berisiko.
Tindakan tersebut termasuk menyerahkan komando dan kontrol senjata ke militer dan bukan pemimpin nasional, penyebaran senjata yang lebih luas ke seluruh dunia, sebuah postur peringatan peluncuran, dan sebuah keputusan untuk menyerang lebih dulu.

Laporan RAND menunjukkan bahwa setidaknya 23 negara aktif dalam mengejar teknologi hipersonik untuk penggunaan komersial atau militer. Saat ini, Amerika, Rusia, dan China memimpin balapan tersebut.
Laporan tersebut menunjukkan bahwa penyebaran teknologi hipersonik yang meluas dapat menyebabkan militer di seluruh dunia, terutama yang memiliki hubungan tegang dengan tetangga mereka, memiliki kemampuan yang dapat menyebabkan ketidakstabilan.
RAND Corporation menyarankan bahwa hal ini juga dapat memacu perubahan atau amandemen Missile Technology Control Regime (MTCR), sebuah kesepakatan sukarela dengan 35 negara yang bertujuan untuk mencegah proliferasi rudal yang dapat membawa hulu ledak nuklir.
RAND percaya bahwa MTCR harus mencakup kendaraan pengiriman hipersonik, scramjets, dan komponen hipersonik lainnya ke dalam daftar item yang tidak dapat diekspor. Paling tidak, kesepakatan trilateral antara Amerika, Rusia, dan China dapat dilakukan untuk mencegah senjata hipersonik jatuh ke tangan yang berbahaya.
RAND percaya bahwa rudal hipersonik akan mulai beroperasi di medan perang dalam 10 tahun ke depan.