Isu tentang senjata kimia yang digunakan dalam perang kembali menyeruak dalam minggu-minggu terakhir ini.
Selama sepekan terakhir, tentara Suriah dan sekutu-sekutunya telah memasuki daerah kantong pemberontak Ghouta dekat Damaskus.
Serangan ini menjadi yang paling besar dalam tujuh tahun perang yang berkecamuk di negara tersebut. Dalam serangan inilah Suriah dituduh menggunakan senjata kimia.
Hal ini meningkatkan protes banyak negara termasuk PBB. Prancis menyatakan akan menyerang pasukan pemerintah Suriah jika menggunakan senjata kimia.
Terakhir pemerintah Inggris juga mengtakan pihaknya akan mempertimbangkan bergabung dengan Amerika jika memang ada bukti tak terbantahkan.
Senjata kimia menjadi garis merah yang dijadikan alasan Amerika menyerang Suriah. Pada 2017 lalu Amerika menggempur pangkalan militer Suriah dengan 59 rudal Tomahawk dari kapal perang mereka setelah hampir 100 orang, termasuk anak-anak, tewas dalam serangan gas ke kota Khan Sheikhoun yang dikuasai oposisi.
Suriah terus membantah penggunaan senjata kimia. Rusia juga mengatakan tuduhan terhadap sekutuhnya tersebut tidak pernah terbukti.
Penggunaan senjata kimia dalam perang menjadi salah satu hal yang sangat dilarang karena akan memunculkan korban luas di kalangan sipil dan akan berdampak panjang pada kesehatan.
Suriah, harus diakui memang menjadi salah satu negara yang terbukti memiliki jejak dalam kepemilikan senjata berbahaya tersebut.
Tetapi sebuah proses internasional telah dilakukan untuk melucutinya dan Suriah pun sepakat. Bagaimana sejarah sampai Damaskus memiliki senjata kimia, menjadi hal yang menarik untuk dilihat lagi.