Setelah pemerintah Kanada menyatakan akan meninjau ulang penjualan 16 helikopter ke Filipina karena kekhawatiran akan digunakan untuk memerangi para pemberontak, Presiden Filipina Rodrigo Duterte membalas dengan memerintahkan pembatalan kontrak senilai US$233 juta atau sekitar Rp3,1 triliun tersebut.
“Saya ingin mengatakan kepada angkatan bersenjata (Filipina) untuk membatakan kesepatan itu, tidak usah diteruskan lagi dan kita akan mencari pemasok lain. Kami menghormati pandangan Kanada,” kata Duterte dalam pertemuan yang disiarkan televisi.
Duterte juga meminta militernya agar tidak lagi membeli persenjataan dari Kanada atau dari Amerika Serikat karena selalu diembel-embeli dengan syarat.
Filipina dan Kanada secara resmi menandatangani kesepakatan pembelian helikopter itu pada Selasa 7 Februari 2018. Namun sehari setelahnya, pemerintah Kanada memerintahkan agar peninjauan ulang dilakukan sebagai tanggapan terhadap komentar yang diberikan kepada Reuters oleh Mayor Jenderal Filipina Restituto Padilla.
Padilla mengatakan helikopter-helikopter itu akan digunakan dalam operasi untuk menangani para pemberontak komunis dan Islamis.
Kalangan pejabat Kanada mengatakan mereka khawatir soal kemungkinan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dan memahami bahwa helikopter-helikopter tersebut akan digunakan untuk operasi nontempur.
Menteri pertahanan Filipina kemudian menyampaikan klarifikasi bahwa helikopter-helikopter Bell 412 EPI itu sebagian besar akan digunakan untuk misi transportasi, penyelamat dan tanggap darurat.
Namun, Duterte mengatakan helikopter akan digunakan untuk menghadapi para pemberontak Mao. “Alasan saya membeli helikopter-helikopter ini adalah karena saya ingin membasmi mereka,” katanya.
Di Ottawa, Menteri Perdagangan Kanada Francois-Philippe Champagne mengatakan dalam pernyataan bahwa pernyataan-pernyataan Duterte yang dianggap mengkhawatirkan itu semakin menggarisbawahi kebingungan dan kontradiksi yang muncul baru-baru ini soal niat penggunaan helikopter-helikopter itu.
Filipina menghadapi rintangan dalam pengadaan 26.000 senapan penyerang M4 dari Amerika Serikat bagi kepolisian. Duterte akhirnya membatalkan rencana itu setelah beberapa senator AS mengancam akan menghadang penjualan tersebut terkait kekhawatiran soal pelanggaran HAM.