Korea Selatan dan Indonesia saat ini terus berusaha mengembangkan dan membangun jet tempur KF-X/IFX.
KF-X digadang-gadang menjadi masa depan dirgantara Korea Selatan, dan jika berhasil, ia akan memperkuat negara tersebut sebagai pelopor dalam industri penerbangan global. Pesawat ini X diperkirakan melakukan penerbangan pertama pada tahun 2022, dengan pengiriman ke Republik Korea Air Force (ROKAF) mulai tahun 2024.
Pesawat tempur KF-X adalah jet tempur bermesin dua mesin, dan akan mengusung radar AESA (active electronic scanned array) dan avionik canggih lainnya. KF-X dikembangkan bersama oleh Korea Aerospace Industries (KAI) dan raksasa kedirgantaraan AS Lockheed Martin, sebagai bagian dari kesepakatan di mana Angkatan Udara Korea Selatan membeli 40 pesawat tempur F-35 dari Amerika Serikat.
Pemerintah Korea Selatan menginvestasikan lebih dari US$ 7 miliar di KF-X, dan ROKAF mengharapkan untuk membeli 120 pesawat tempur ini untuk menggantikan armada F-4 Phantom dan F-5 mereka. Selain itu, Seoul telah berhasil menarik Indonesia sebagai mitra dalam program ini, dan Jakarta dapat mengakuisisi 80 pesawat yang dikenal sebagai IF-X.
Untuk Korea Selatan pesawat akan masuk kategori 4.5 yang berarti lebih unggul dibanding pesawat tempur generasi ke-4, seperti F-16, namun belum setara dengan F-22 atau F-35 yang merupakan jet tempur generasi kelima. KF-X bisa ditempatkan sekelas dengan Eurofighter Typhoon, Gripen Swedia, atau Su-35 Rusia.
Namun untuk IF-X kemampuannya lebih rendah terutama dalam desain siluman. IF-X tidak akan memiliki ruang senjata internal seperti halnya KF-X.
Berdasarkan persyaratan kontrak proyek, tim KAI-Lockheed akan menanggung 20% biaya pengembangan, dengan Korea Selatan dan Indonesia masing-masing akan menanggung 60% dan 20% biaya.
Teknonasionalisme Militer
Ada sebuah pertanyaan yang muncul, jika Angkatan Udara Korea Selatan sudah mendapatkan F-35, mengapa membangun sesuatu yang kurang mampu? Wartawan Richard A Bitzinger dalam tulisannya di Asia Times Jumat 27 Oktober 2017 mengatakan jawaban dari pertanyaan tersebut menyangkut apa yang disebut teknonasionalisme militer.
Profesor MIT Richard Samuels berpendapat bahwa technonationalism tidak lain adalah ‘perjuangan untuk kemerdekaan dan otonomi melalui pembangunan teknologi sendiri’
Teknonasionalisme militer (sebuah kata yang pertama kali diciptakan oleh Robert Reich di tahun 1980an) adalah tentang menjadi lebih mandiri dalam persenjataan, tapi juga lebih dari itu. Ini sama seperti geopolitik karena tentang kemandirian ekonomi atau kecukupan teknologi.
Dengan demikian, teknonasionalisme melayani ambisi strategis nasional yang luas dan berani, terutama kemunculan sebuah negara sebagai negara yang modern, mandiri, bahkan berkuasa,.
Tentu saja, teknonasionalisme tidak terbatas hanya pada produksi persenjataan atau hanya ke Korea Selatan. Misalnya, negara-negara seperti Brazil dan Afrika Selatan juga Indonesia mencoba menerapkan strategi teknonasionalis dalam hal pembuatan senjata.
Richard A Bitzinger menulis salah satu contoh terbaiknya adalah KAI. Perusahaan ini, produk dari penggabungan paksa antara tiga perusahaan penerbangan kecil yang bangkrut, adalah personifikasi harapan dan impian Korea untuk industri pertahanannya.
Militer Korea Selatan memiliki ambisi untuk menjadi desainer dan produsen pesawat kelas dunia, serta mengharapkan KAI untuk akhirnya menjadi salah satu perusahaan pembuat kedirgantaraan terkemuka di dunia.
Next: Kasus Menyedihkan T-50
Technonationalism sendiri, bagaimanapun, tidak dapat membangun industri pertahanan yang berkelanjutan dan ekonomis. Faktanya pasar pertahanan Korea sendiri terlalu kecil untuk mendukung program jet tempur nasional.
Agar menguntungkan, perusahaan harus menjual ratusan pesawat tempur. Bahkan dengan Indonesia yang masuk dan membeli 80 pesawat Korea dan KAI harus mencari pelanggan lain untuk bisa menjual pesawat lebih banyak hingga tidak rugi.
Bahkan, Korea mengharapkan untuk mengekspor hingga 600 KF-X ke negara lain. Meski angka ini mungkin terlalu optimis, dan mungkin sangat berbahaya.
Ambil kasus T-50 Golden Eagle, program pesawat Korea Selatan. Diluncurkan pada pertengahan 1990-an, T-50 adalah program ambisius untuk merancang dan memproduksi jet pelatih / jet serang supersonik dan dilengkapi dengan paket avionik yang canggih.
Selain menjadi jet pelatih, pesawat ini diadaptasi dalam versi lain, termasuk pesawat tempur ringan TA-50. Pesawat ini dimaksudkan untuk menggantikan T-38, A-37, dan F-5 milik Angkatan Udara Korea Selatan.
Awalnya KAI juga sangat optimistis dengan mentargetkan bisa mengekspor 1.000 T-50 dan merebut seperempat dari pasar dunia. Tetapi fakta menunjukkan dalam dekade terakhir, Korea baru menjual 64 T-50 dan hanya ke empat negara: Indonesia, Irak, Filipina, dan Thailand.
Korea Selatan menemukan kenyataan bahwa masuk ke bisnis jet tempur internasional memang sangat sulit dilakukan. Salah satu hambatan terberat adalah pasar sudah jenuh dengan sejumlah produk yang sangat mampu, seperti F-35 dan Su-30 serta Su-35. Selain itu, perusahaan kedirgantaraan Amerika, Rusia, dan Eropa telah menghabiskan puluhan tahun untuk mengembangkan basis pelanggan mereka, dan sulit untuk merebutnya.
Kekuatan Korea Selatan adalah selalu optimis, kemampuannya untuk percaya bahwa jika tekun dan berusaha keras, ia bisa mengatasi hambatan atau kemunduran. Hal positif ini telah berhasil. Jadi mungkin lebih baik yakin bahwa KF-X pada akhirnya nanti akan menemui keberhasilan.