Dari Sini Amerika Memantau Gerakan Rudal di Seluruh Dunia

Dari Sini Amerika Memantau Gerakan Rudal di Seluruh Dunia

Saat Korea Utara meluncurkan rudal balistik di atas Pasifik, pemimpin puncak Amerika Serikat beralih ke National Air and Space Intelligence Center (NASIC) yang berbasis di Pangkalan Angkatan Udara Wright-Patterson.

Analisis oleh NASIC membuat Gedung Putih, Kongres dan Pentagon menyadari ancaman udara, ruang dan cyber dan menentukan bahaya rudal dari Pyongyang bagi Amerika dan sekutunya.

“Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa penilaian yang dihasilkan NASIC dapat membuat perbedaan antara perang dan perdamaian,” kata Loren B. Thompson, seorang analis pertahanan senior di Lexington Institute yang berbasis di Virginia.

NASIC baru saja melakukan perluasan bangunan yang menghabiskan dana sekitar US$ 29,5 juta di bagian terpencil Wright-Patterson. Angkatan Udara mengizinkan media untuk berada di tempat pembukaan, namun sedikit mengungkapkan sedikit tentang pekerjaan yang akan berlangsung saat perluasan selesai.

Badan rahasia dengan badan pesawat tempur MiG-29 ditempatkan di luar kantor pusatnya tersebut bertugas menilai kemampuan ancaman rudal balistik antar benua China, Rusia, Iran dan Korea Utara, antara lain, dan membongkar teknologi asing untuk mengetahui rahasia bahwa sebuah rudal musuh terbang di udara atau duduk di tempatnya.

“Mereka jelas-jelas fokus pada masalah mutakhir yang dihadapi negara kita dan yang terus terang banyak konstituen saya bertanya kepada saya setiap hari,” kata Ketua Komite Angkatan Bersenjata Amerika, Morgan Thorn. “Apa yang akan kita lakukan tentang Korea Utara? Ke mana arah Iran? Bagaimana dengan kemampuan Rusia dan China? ”

Sejumlah  anggota Kongres telah diundang untuk tur NASIC dan Wright-Patterson untuk melihat fasiltias penting tersebut. Saat ini, NASIC memiliki 3.100 pegawai sipil dan personel militer dengan anggaran US$ 430 juta.

Lembaga ini menyediakan data intelijen sensitif kepada Pentagon dan Gedung Putih. “Tentu ada masalah yang Anda dengar tentang pembicaraan terkait  rudal balistik Korea Utara, namun ada banyak hal lain yang terjadi di dunia ini yang kami tonton,” kata Komandan NASIC Kolonel Sean P. Larkin mengatakan dalam sebuah wawancara.

NASIC akan membutuhkan dana besar untuk  besar markas besarnya agar mampu memenuhi permintaan yang semakin tinggi. Larkin memperkirakan sejak serangan teror 9/11 lembaga  ini menambah karyawannya rata-rata 100 orang per tahun.

Mereka yang direkrut sebagian besar memiliki keterampilan sains, teknik dan teknologi, dan tuntutan yang tinggi di dunia maya, serta pakar pengolahan data karena volume intelijen untuk ditafsirkan dan dievaluasi semakin banyak dan berkembang.

“Hal utama yang kita butuhkan di NASIC adalah orang-orang yang inovatif, pekerja keras, berdedikasi untuk datang ke sini,” katanya.

Loren B. Thompson, seorang analis pertahanan senior di Lexington Institute yang berbasis di Virginia mengatakan NASIC memiliki peran kunci untuk menilai tingkat keparahan ancaman militer terhadap Amerika Serikat.

“Ini biasanya bergantung pada cara teknis untuk mengumpulkan intelijen, yang dalam kasus Korea Utara mungkin satu-satunya data intelijen yang kita miliki datang dari lembaga ini,” , kata Thompson, yang juga  konsultan industri pertahanan ini. “Mungkin tidak banyak mata-mata AS yang beroperasi di lapangan di Korea Utara.

“NASIC tidak hanya menganalisis senjata yang dimiliki musuh, tapi senjata apa yang ingin diperolehnya, kapan senjata tersebut akan tersedia, dan bagaimana penggunaannya.”

NASIC telah berumur 100 tahun pada 2017 ini. Lembaga ini lahir di Lapangan Udara McCook di Dayton dimana para insinyur memisahkan pesawat asing dalam Perang Dunia I untuk mempelajari rahasia yang mereka pegang.

Sejak saat itu,  NASIC  telah membedah jet tempur MiG dan rudal udara ke udara buatan Rusia. Mereka juga memimpin Proyek Blue Book terhadap laporan UFO di tahun 1960.

Korea Utara, yang terus mengancam serangan nuklir terhadap Amerika jika diserang, telah melakukan serangkaian uji coba rudal dan nuklir yang meningkat.

“Korea Utara adalah masalah yang sangat sulit yang harus kita analisa sehingga kita bisa melihat kemajuan mereka saat mereka melakukan tes,” kata Gary O’Connell, seorang ilmuwan kepala NASIC yang sudah pensiun. “Ini menjadi prediktif mungkin terhadap negara seperti itu, mencoba untuk mengetahui sejauh mana mereka sebelum mereka benar-benar diluncurkan.”

Yang paling sulit adalah mencoba untuk menentukan niat nuklir Korea Utara, katanya. NASIC bekerja sama dengan badan intelijen Amerika lainnya untuk mencoba menemukan jawabannya.

“Yang terbesar [persenjataan nuklir] jelas Rusia baik dalam hal jumlah dan kemampuan merusak, tapi Korea Utara mungkin yang paling tidak dapat diprediksi,” kata O’Connell.

Ada perbedaan bidang antara Badan Intelijen Pertahanan dan NASIC. Badan Intelijen Pertahanan bertugas menilai ancaman perang nuklir musuh, sementara NASIC menganalisis rudal negara asing dengan jarak tempuh lebih dari 1.000 kilometer.

“Tidak cukup untuk mengetahui bahwa Korea Utara sedang menguji rudal jarak jauh,” tambah Thompson. “Kita perlu tahu apakah mereka memiliki hulu ledak nuklir yang bisa dibawa ke rudal, berapa hasil peledaknya, seberapa akurat hulu ledak itu dapat disampaikan, dan apakah bisa bertahan masuk kembali ke atmosfir bumi.

Pada bulan Juni 2017, NASIC menerbitkan sebuah laporan “Ancaman Peledakan Rudal Balistik dan Peluncuran Rudal” yang mengulas ancaman global. Analisis tersebut, yang disatukan dengan Komite Analisis Rudal Balistik Intelijen Pertahanan, mencatat bahwa Korut telah meluncurkan roket ruang angkasa Taepo Dong-2 yang membawa satelit ke orbit pada bulan Desember 2012 dan Februari 2016.

Laporan itu menyebutkan jika dikonfigurasi sebagai ICBM, bisa mencapai Amerika Serikat. Juga ditambahkan negara tersebut telah meluncurkan ICBM mobile  dan mengembangkan rudal balistik yang diluncurkan di bawah kapal selam.

“Kecepatan uji coba rudal balistik Korea Utara meningkat secara dramatis dalam beberapa tahun terakhir,” para ahli NASIC melaporkan.