Baru satu hari setelah menandatangani perjanjian senilai Rp3,1 triliun untuk menjual 16 helikopter ke Filipina, pemerintah Kanada, Rabu 8 Februari 2018, memerintahkan peninjauan kembali kesepakatan tersebut di tengah kekhawatiran bahwa pesawat tersebut digunakan untuk melawan pemberontak.
Menteri Perdagangan Francois-Philippe Champagne mengatakan bahwa kesepakatan itu, yang ditandatangani secara resmi pada Selasa, dicapai pada 2012 dengan pemahaman bahwa helikopter tersebut akan digunakan untuk pencarian dan penyelamatan.
Kepala perencanaan militer Filipina Mayor Jenderal Restituto Padilla pada Selasa mengatakan bahwa helikopter tersebut akan digunakan untuk gerakan keamanan dalam negeri militer serta dapat ditempatkan dalam pencarian, penyelamatan dan bantuan bencana.
“Ketika melihat pernyataan tersebut, kami segera melancarkan tinjauan dengan pihak berwenang terkait dan kami jelas akan meninjau kembali kenyataan dan mengambil keputusan tepat,” kata Champagne kepada wartawan tanpa merinci.
Helikopter Bell 412EPI dijadwalkan akan dikirim awal tahun depan karena militer Filipina bersiap untuk meningkatkan operasi melawan pemberontak Islam dan komunis.
Perdana Menteri Justin Trudeau yang ditanyai apakah ia khawatir helikopter tersebut dapat digunakan untuk melawan warga Filipina pun mengatakan kekhawatirannya.
Kanada memiliki peraturan yang sangat jelas tentang siapa yang bisa menjual senjata dan bagaimana penggunaannya, katanya saat mengadakan tanya jawab di University of Chicago.
“Kami akan memastikan sebelum kesepakatan ini atau kesepakatan lain berlanjut karena kita mematuhi peraturan, dan pemerintah Kanada harus mengikutinya,” katanya.
Pada November, Presiden Filipina Rodrigo Duterte secara terbuka mengkritik Trudeau pada sebuah pertemuan puncak regional di Manila karena mengajukan pertanyaan tentang perang melawan narkoba.
Hampir 4.000 orang Filipina telah dibunuh oleh polisi dalam kampanye tersebut sejak Juni 2016. Kelompok hak asasi manusia menuduh polisi melakukan pembunuhan ilegal, melakukan tindak kejahatan dan memalsukan laporan, sebuah tuduhan yang mereka tolak.
“Hak asasi manusia adalah elemen kunci dari kebijakan luar negeri dan kebijakan perdagangan kita,” kata Champagne.
Pada 2016, pemerintah Liberal dikritik karena memutuskan menghormati kontrak menjual kendaraan lapis baja ringan ke Arab Saudi, terlepas dari masalah hak asasi manusia. Layaknya kontrak helikopter, kesepakatan tersebut diatur pemerintahan Konservatif Kanada.