Banyak pihak sering menganggapi China adalah sekutu terdekat Korea Utara yang mampu meredam ambisi Pyongyang dalam program nuklir dan rudalnya. Secara ekonomi atau perdagangan memang iya, tetapi secara politik yang terjadi tidak demikian.
Korea Utara dan China justru memiliki sejarah hubungan yang tidak baik. Bahkan sampai sekarang Korea Utara tidak pernah mempercayai China. Salah satu penyebabnya adalah pelajaran yang didapat Pyongyang dari apa yang dikenal sebagai Perang Naga atau War of The Dragon ketika China menyerang Vietnam.
Hubungan China-Korea Utara dimulai dengan awal yang buruk sejak lahirnya Republik Demokratik Rakyat Korea (DPRK) atau Korea Utara. Pemimpin pertama Korea Utara, Kim Il-sung, yakin bahwa dia tidak memerlukan pertolongan China untuk menyatukan Semenanjung Korea pada awal Perang Korea pada tahun 1950.
Dia bahkan memperlakukan perwakilan China dengan penghinaan, dan menolak permintaan pejabat China untuk mempelajari medan perang jika dukungan militer China dibutuhkan. Perilaku Kim sebagian disebabkan oleh keangkuhannya sendiri dan hubungannya yang lebih erat dengan Uni Soviet. DPRK pada intinya adalah satelit Soviet pada akhir 1940an.
Namun, Kim juga menyimpan kecurigaan mendalam tentang pemerintah komunis yang baru di China dan dia mencoba untuk meminimalkan perannya di Semenanjung Korea.
Sementara pemimpin China Mao Zedong melihat Korea sebagai titik temu ketegangan yang lebih besar antara Timur dan Barat. Karena Amerika terus mendukung Chiang Kai-Shek di Taiwan, Mao melihat China secara de facto sebenarnya berperang dengan Amerika Serikat pada tahun 1950.
China pada saat itu tidak memiliki cukup kekuatan udara atau armada laut yang cukup kuat untuk melakukan invasi Taiwan karena harus berhadapan dengan Amerika. Mao kemudian tertarik pada pegunungan Korea Utara yang dianggapnya akan menjadi medan perang yang menguntungkan bagi mana Tentara Pembebasan Rakyat untuk melawan Amerika dan menunjukkan kepada dunia bahwa China adalah kekuatan yang hebat untuk diperhitungkan.
Bagi Mao, Korea merupakan pion pertama dalam permainan kekuatan yang jauh lebih besar. Dia sebenarnya tidak banyak peduli dengan rezim Kim. Seperti yang dikatakan sejarawan David Halberstam dalam bukunya The Coldest Winter: America and the Korean War.
Halberstam mengatakan, apa yang dilakukan China di Korea dengan memasuki perang, membawa korban yang mengerikan karena untuk alasan mereka sendiri, bukan dari cinta pada Korea Utara. Rasa hormat mereka terhadap orang Korea dan Kim pada saat itu sebenarnya cukup marjinal. Kondisi ini berubah sangat sedikit sepanjang sisa Perang Korea dan tahun 1950an.
Pada 1960-an, hubungan antara DPRK dan China memburuk. Antara lain karena, Partai Pekerja Korea menyebut Revolusi Kebudayaan sebagai “kegilaan besar” dan menyebut Mao Zedong sebagai “orang tua bodoh yang telah kehilangan akal sehatnya.”
China pada gilirannya menuduh Korea Utara memiliki kecenderungan revisionis. Seperti yang dikatakan sejarawan China dan pakar Korea Utara John Delament, “jika ada satu kata yang bisa menyimpulkan perspektif Korea Utara tentang sejarah aliansi mereka dengan China, mungkin adalah ‘pengkhianatan’.”