Sejak awal 1990an, Korea Utara mendapatkan perhatian yang semakin meningkat terkait penggunaan bahasa tajam mereka. Dalam episode terakhir, Ri Yong-ho, Menteri Luar Negeri Korea Utara, menertawakan presiden Amerika Serikat Donald Trump serta membandingkan ancaman bombastisnya dengan “suara anjing menggonggong.”
Ini mungkin terdengar biasa, tapi sebenarnya Ri memilih bahasa dengan hati-hati. Dalam konteks Korea, dan juga di Indonesia, membandingkan dengan seekor anjing sangat menghina, dan ini mungkin melanjutkan pernyataan Kim Jong-un kepada Trump yang menyebutnya sebagai “anjing yang ketakutan.”
Kata-kata semacam itu memungkinkan pimpinan Korea Utara untuk menampilkan dirinya sebagai orang yang menentang dunia.
Semenanjung Korea memiliki sejarah panjang dalam tukar menukar hinaan, dengan propaganda semacam itu tumbuh pesawat pada periode sekitar Perang Korea (1950-1953). Kata-kata keras kerap kali membandingkan lawan dengan binatang buas dengan menggunakan ungkapan yang berakar pada budaya Korea.
Gaya saling caci dimulai sejak 1948, ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa mensponsori pemilihan umum pertama yang akan dilakukan setelah pembagian semenanjung tersebut ke Korea Utara dan Selatan. Cara telah meningkat sejak pertengahan 1990-an, karena Korea Utara berusaha untuk memperoleh teknologi nuklir, dan bahkan semakin ganas sejak 2006.
Poster propaganda Korea Utara saat itu biasa menggunakan ungkapan seperti “bajingan Amerika” atau “imperialisme Amerika,” untuk menggambarkan kekuatna besar Amerika Serikat yang terlalu besar.
Tentara Amerika sering digambarkan dengan fitur wajah yang menyimpang, dan sebagai sebuah kelompok yang mengancam sekelompok orang Korea yang meringkuk menggambarkan kekuatan lemah dan tanpa pertahanan.
Sebaliknya, propaganda anti-Komunis Amerika dari tahun 1950-an merujuk gambar komunisme internasional, yang menggambarkan serangkaian garis yang menghubungkan Asia utara-timur. Dalam banyak kasus, Joseph Stalin muncul di latar belakang.
Simbol Amerika jarang muncul: negara ini justru diwakili dalam kelompok Perserikatan Bangsa-Bangsa. Baru beberapa tahun terakhir, simbol ini berubah yang menyerang secara bahasa kepada kepemimpinan Korea Utara khususnya, dengan menggunakan tema kegilaan dan irasionalitas untuk menggambarkan Kim Jong-Il, dan sekarang anaknya, Kim Jong-un.
Propaganda Korea Selatan mungkin yang paling tidak terkenal. Setelah pecah dari semula satu negara, kedua Korea mulai mengambil ideologi berbeda di era Perang Dingin. Korea Utara ke komunis sementara Korea Selatan ke blok Amerika.
Pada pertengahan 1960-an, Korea Selatan kerap menggunakan gambar gurita raksasa, terkadang dengan wajah Mao, mengancam Vietnam dan Asia Tenggara dengan tentakelnya yang menggenggam.
Di bawah Presiden Park Chung-hee (1961-1979), khususnya di tahun 1970an, anak-anak Korea Selatan menerima pendidikan anti-komunis sebagai bagian dari kurikulum.
Dalam buku teks, orang Korea Utara sering digambarkan sebagai sosok setan, tidak manusiawi, dengan cakar dan tanduk di kepala mereka. Jenis pencitraan ini berlanjut sampai pertengahan 1980an.
Transformasi yang paling mengejutkan terjadi dengan perubahan politik ini adalah citra orang Korea Utara, yang sekarang digambarkan dalam film Korea Selatan dan budaya populer sebagai manusia wajar. Citra baru ini mencerminkan masa pencairan dan konsesi, jauh berbeda dari masa sebelumnya yang penuh dengan penghinaan.
Film yang populer dari masa itu, The Spy (1999), menunjukkan bahwa mata-mata Korea Utara yang sedang menyamar dalam sebuah misi, secara lucu tidak tahu bagaimana cara menarik uang, mengalami masalah dengan percakapan sederhana, dan dirampok oleh orang asing saat dia tiba di Korea Selatan yang serba cepat.
Jika gaya bahasa yang keras tetap ada antara Trump dan kepemimpinan Korea Utara, ini mengisyaratkan dari sejarah sebelumnya. Antagonisme semacam itu berawal dari kehancuran Perang Korea dan akibatnya.
Korea Selatan kemudian membatalkan propaganda keras mereka di akhir tahun 1990an dengan “Kebijakan Sinar Matahari”, ketika Presiden Kim Dae-jung berusaha untuk merayu Korea Utara melalui kombinasi antara diplomasi dan bantuan. Ini terbukti kontroversial, karena kebijakan tersebut tidak berhasil membujuk Korea Utara untuk melepaskan ambisi nuklirnya.
Bahasa kasar sekarang menjadi kebiasaan dan hampir setiap hari terdengar baik dilontarkan Korea Utara maupun Amerika. Gaya Trump yang jauh lebih provokatif dibandingkan Obama diimbangi oleh Kim yang memang sudah keras dan kasar menjadikan situasi makin buruk saja.
Bahasa ini ditujukan masyarakat domestik maupun internasional. Di Korea Utara, retorika kejam digunakan untuk membangun kekuatan dan nasionalisme rakyatnya.