Perang Trump di Afghanistan Hasilnya akan Sama Saja

Perang Trump di Afghanistan Hasilnya akan Sama Saja

Donald Trump telah memutuskan untuk meningkatkan jumlah pasukan militernya di Afghanistan. Hal ini bertolak belakang dengan apa yang digembar-gemborkan selama kampanye, namun pada tingkat yang lebih mendasar, ini adalah kembalinya bisnis seperti biasa.

Seorang wartawan Pakistan menggambarkan langkah Trump sebagai awal dari “perang Amerika-Afghanistan ketiga”.  Hal ini menandai usaha besar ketiga Amerika sejak 11 September 2001 untuk menempatkan angkatan bersenjata sebagai alat utama mereka di Afghanistan.

Rencana Trump meningkatkan pasukan adalah lonjakan lain dalam perang Amerika melawan Taliban, dan kemungkinan besar akan menghadapi situasi yang sama yakni terperangkap dalam perang mematikan seperti sebelumnya.

Membasmi Taliban dan kelompok perlawanan lokal lainnya telah terbukti hampir tidak mungkin sejak 2001, baik secara militer maupun sebaliknya. Dan yang lebih serius lagi, ini telah menjadi norma di Afghanistan selama beberapa dekade.

Negara ini bisa dibilang secara konsisten berperang sejak tahun 1978, ketika sebuah revolusi Marxis memulai serangkaian peristiwa mengerikan kemudian ada invasi Soviet pada tahun 1979 yang mengakibatkan perang melelahkan Afghanistan-Soviet selama 10 tahun. Perang ini telah menyisakan perang saudara yang berlangsung efektif sampai tahun 2001.

Intervensi asing tidak pernah membentuk pemerintahan Afghanistan yang stabil, juga tidak memperkuat negara ini. Seperti Soviet, pasukan Amerika gagal mengantisipasi bahwa orang Afghanistan sendiri tidak bisa menerima kebijakan pembangunan bangsa yang berorientasi pada Barat, namun bahkan menolaknya.

Inovasi seperti Sistem Terrain Manusia yang sekarang telah ditinggalkan dan menekankan pada pendekatan antropolog dalam operasi Amerika, juga gagal membantu membangun pengetahuan lokal yang penting.

Sebaliknya, intervensi asing telah memberikan banyak dukungan finansial dan militer untuk pihak-pihak yang ingin merusak sesuatu yang menyerupai negara Afghanistan yang stabil.  Setelah semua, perlawanan selama satu dekade melawan Soviet dengan dipersenjatai dan didukung oleh CIA dan agen Inter-Services Intelligence Pakistan,  Taliban muncul dari perlawanan ini, dengan menggunakan pelatihan yang diterimanya saat melawan Soviet pada tahun 1980an untuk bertempur melawan Amerika pada tahun 2000an.

Trump mengatakan saat ini akan berbeda: “Kami bukan nation-building lagi. Kami membunuh teroris.”

Tetapi tantangannya tetap sama seperti sebelumnya. Meski banyak “teroris” terbunuh, Afghanistan membutuhkan semacam keadaan yang berfungsi yang dapat menangani ancaman militan dan mendapatkan legitimasi di antara orang Afghanistan sendiri.

Intervensi militer tidak bisa menjamin hal ini. Ini sebenarnya lebih cenderung melemahkan legitimasi pemerintah dan meracuni reputasi Amerika dalam prosesnya.

Sementara itu, seperti pendahulunya, Presiden Trump mencoba melepaskan sejumlah tanggung jawab ke tetangga selatan Afghanistan, Pakistan.

Berulang kali, para pembuat kebijakan Amerika telah sepakat bahwa Taliban tidak dapat berakar sampai Pakistan berhenti memberi tempat berlindung yang aman di sepanjang perbatasan Afghanistan. Trump telah berjanji untuk melakukan apa yang Bush dan Obama tidak bisa yakni  memaksa Pakistan untuk mengambil sikap yang lebih keras terhadap Taliban, dan  kelompok anti-Barat lainnya bersembunyi di daerah otonom dan kesukuan di barat laut, di antaranya jaringan militan Haqqani.

Namun Business Insider menulis inti masalahnya adalah Afghanistan menolak untuk mengakui perbatasannya dengan Pakistan. Hal ini telah mendominasi hubungan regional sejak kemerdekaan Pakistan pada tahun 1947. Perbatasannya secara efektif cair, dan tidak banyak menghentikan gerakan lintas batas jaringan kelompok bersenjata.

Selama pemerintahan Obama, kawasan ini dipandang sebagai front krusial dalam “War on Terror” dan masih dipandang sebagai kunci stabilitas kawasan tersebut. Pakistan pada khususnya khawatir bahwa tanpa batas yang aman, akan rentan terhadap intrik poros sekutu India, termasuk Amerika dan Afghanistan.

Alih-alih melibatkan India, seperti yang disarankan oleh Trump, menangani masalah sengketa perbatasan dapat menciptakan ruang bagi dialog yang tepat mengenai penyebaran jaringan teror sambil memperkuat wilayah dan pemerintahannya.

Namun dalam hubungan lebih dari 60 tahun dengan Afghanistan dan Pakistan, Amerika tidak pernah mencari kesepakatan perbatasan. Sampai hal itu tercapai, kelompok bersenjata tidak akan pernah bisa diusir sepenuhnya.

Tapi sebelum itu bisa terjadi, Afghanistan dan Pakistan sama-sama membutuhkan pemerintah yang legitimasinya diakui dan dijunjung tinggi di dalam dan luar negeri. Dan pada gilirannya menuntut pemerintah Trump untuk memikirkan kembali sikapnya terhadap apa yang mungkin memang disebut pembangunan bangsa.

Baca juga:

F-16 Pernah Kebingungan dan Putus Asa di Perang Afghanistan