Salah satu alasan yang menjadikan F-35 menjadi proyek yang berlarut-larut dan mahal adalah konsep awal untuk membangun sebuah jet tempur untuk kepentingan bersama, baik Angkatan Udara, Angkatan Laut atau Marinir. Makanya kemudian F-35 dikenal sebagai Joint Strike Fighter.
Seharusnya akuisi semacam ini bisa menghemat biaya karena meminimalkan redundansi dan duplikasi antara layanan militer. Tapi dalam praktik terbukti hanya menjadi ilusi.
Ide di balik pengembangan pesawat bersama adalah bahwa platform umum akan memungkinkan beberapa layanan untuk bisa menghemat ekonomi dalam pengembangan dan produksi. Tetapi F-35 telah membuktikan sebaliknya. Menurut Defense One, tiga varian Joint Strike Fighter ini ternyata hanya berbagi sekitar 20 persen bagian-bagian yang sama.
Alasannya sederhana. Penerbangan tempur di tiga layanan yakni USAF, US Navy dan Marnir memiliki kebutuhan yang berbeda, konsep penerbangan yang berbeda, dan budaya organisasi yang berbeda. Upaya untuk memenuhi semua keperluan itu dalam satu pesawat akhirnya berujung menjadi pada program termahal yang pernah ada dalam sejarah pengadaan senjata di dunia.
Pada akhrinya untuk memenuhi syarat masing-masing layanan, pesawat harus menggunakan teknologi berbeda, rekayasa ulang setiap varian juga tak terelakkan.
F-35 sepertinya tidak belajar pada sejarah. Pengembangan pesawat tempur bersama sebenarnya bukan kali ini saja dan telah mencatkan sejarah memalukan di masa lalu.
Pada tahun 1961, Menteri Pertahanan Robert McNamara berpikir dia bisa menghemat uang dengan membuat platform yang bisa digunakan bersama oleh Angkatan Udara dan Angkatan Laut. The Tactical Fighter Experimental-awalnya dikenal sebagai TFX, dan kemudian melahirkan F-111 faktanya terbukti sangat mahal, dan tidak kompatibel dengan kebutuhan layanan. Angkatan Laut akhirnya menarik diri dari program.

Sejarawan penerbangan militer Richard Hallion telah menulis, “titik kritis terlalu sering diabaikan dalam diskusi pengalaman dari TFX / F-111 yakni ketidakcocokan dasar dalam mengembangkan badan pesawat tunggal untuk melakukan hal berbeda dari misi Angkatan Udara dan Angkatan Laut.
Ada alasan praktis di luar biaya untuk mengejar platform terpisah, dan manfaat untuk mengejar redundansi bukan keseragaman. Ketika F-111 kemudian menjadi bencana, Angkatan Laut melahirkan F-4 Phantom yang mampu dikonversi menjadi pesawat yang dapat digunakan untuk Angkatan Udara. Tidak hanya itu F-4 juga terbukti sukses di pasar.
Satu dekade kemudian, karena tidak ingin terjebak dengan pesawat Angkatan Laut yang lain, Angkatan Udara mengembangkan F-16.

Pengalaman pahit F-35 kemudian menjadikan Angkatan Udara dan Angkatan Laut memilih kerjasama dalam pengembangan pesawat tempur generasi keenam. Kerjasama dalam hal penggunaan teknologi, bukan dalam membangun pesawat tunggal untuk kepentingan bersama. Jelas ini sebagai bukti bahwa F-35 telah menjadi ilusi yang jauh dari apa yang direncanakan. Mereka mendapat pelajaran bahwa pengembangan pesawat tempur bersama tidak akan bekerja.