Pada 18 Juli 1980, sebuah jet tempur MiG-23MS nomor 6950 milik Angkatan Udara Libya jatuh di Gunung Sila di Calabria di Italia selatan. Pilot, Kapten Ezzeden Khalil, meninggal dalam kecelakaan tersebut.
Kecelakaan itu memunculkan berbagai isu dan teori konspirasi. Salah satunya menghubungkan kematian Khalil dengan jatuhnya pesawat Douglas DC-9 milik Itavia pada tanggal 27 Juni 1980.
Pesawat tersebut sedang melakukan perjalanan dari Bandara Guglielmo Marconi di Bologna menuju Bandara Internasional Palermo di Sisilia saat menghilang di atas Laut Tyrrhenian dengan 81 awak dan penumpang.
Bertahun-tahun kemudian, para peneliti menyimpulkan bahwa DC-9 dihancurkan oleh sebuah bom yang diletakkan di toilet pesawat.
Namun, beberapa orang yakin bahwa pesawat tersebut terjebak dalam upaya pemimpin Libya Muammar Qaddafi untuk membunuh mantan presiden Amerika Serikat Jimmy Carter saat melakukan perjalanan ke Eropa.

Kebetulan saat terjadi kecelakaan MiG Libya muncul di langit malam di atas kapal Italia. Amerika Serikat,, Perancis dan Italia segera mengirimkan jet tempur untuk mencegat pesawat Libya ini. Kahlil kebetulan merupakan salah satu pilot MiG-23MS yang terlibat dalam situasi tersebut.
Saat itu Khalil melakukan manuver dengan MiG-23MS-nya di bawah DC-9. Pada saat itu, sebuah rudal entah milik Amerika, Perancis atau Italia menyerang MiG. Tetapi justru menghantam DC-9.
Otoritas Libya mengidentifikasi pilot MiG-23MS yang jatuh di Gunung Sila sebagai Kapten Khalil Ezzeden, lahir di Benghazi pada tanggal 17 Maret 1950. Dia memperoleh lisensi pilot militernya pada tahun 1972 dan pada tahun 1980 telah terbang SOKO G-2 Galebs, SOKO J-21 Jastrebs, MiG-21 dan MiG-23 dengan gabungan 927 jam terbang . Dia berkompeten dan mendapat sertifikasi sebagai pemimpin penerbangan.
Namun, Dinas Intelijen Militer dan Keamanan Italia menyimpulkan bahwa orang-orang Libya berbohong, dan Khalil sebenarnya berasal dari Suriah atau Palestina. Nama lengkap dan pangkatnya adalah Kapten Pilot Ezzeidin Fadhil Khalil.
Pada tahun 1974 Qaddafi telah membeli dalam jumlah besar yakni lebih dari 400 pesawat tempur Soviet. Meskipun memiliki hampir 500 pilot latih dan lebih dari 2.000 personel darat, Angkatan Udara Libya tidak memiliki sumber daya manusia yang memadahi untuk memelihara semua pesawat baru. Sekutu Libya, Suriah dengan murah hati mengirimkan pilot dan personil darat ke dua skuadron MiG-23 Libya.
Kontingen Suriah di Libya berbasis di pangkalan udara Benina di selatan Benghazi. Meskipun di pangkalan itu juga ada skuadron Angkatan Udara Libya, tapi keduanya dipisahkan secara ketat.
“Khalil adalah seorang pilot Angkatan Udara Arab Suriah, ditugaskan ke salah satu dari dua skuadron MiG-23MS di Benina, yang secara eksklusif dikelola oleh orang-orang Suriah. Kami tidak bisa terbang dengan mereka karena mereka menggunakan bahasa Arab saat terbang, sementara kami [orang Libya] menggunakan bahasa Inggris. Jadi, kami terbang di pagi hari dan mereka di sore hari dan malam hari. Mereka juga memiliki cara hidup mereka sendiri, jadi kami tidak banyak bergaul dengan mereka, meski saya melakukan sosialisasi dengan pemimpin skuadron mereka – terutama karena rasa ingin tahu,” kata Hazem Al Bajigni, seorang mantan pilot MiG-23 Libya.
Adapun alasan di balik kecelakaan Khalil di Gunung Sila, ingatan mantan pilot Libya cocok dengan investigasi resmi Italia dan Libya. Khalil berangkat dari Benina pukul 9.45 pagi, waktu setempat, pada 18 Juli 1980 dengan berpasangan. Awalnya, ia terbang ke arah Marsa Al Burayqah.
Setelah 13 menit terbang, MiG berbelok ke timur sambil mendaki ke ketinggian 31.168 kaki sebelum berbalik lagi dan mendaki ke ketinggian 32.808 kaki. Pasangan MiG tersebut kemudian terus mendaki ke posisi 39.370 kaki dan berbelok ke arah 330 derajat.
Segera setelah itu, wingman kehilangan kontak dengan Khalil. Dia mengikuti pemimpinnya sekitar 37 mil sebelah utara Benina. Karena tinggal memiliki 1.400 liter bahan bakar di tangkinya, dia kemudian memutuskan untuk kembali ke pangkalan.
Radar Libya terakhir melacak MiG Khalil terbang mengarah ke utara, sekitar 300 kilometer utara Benina. Otoritas Libya meluncurkan operasi pencarian dan penyelamatan di daerah sekitar 200 mil sebelah utara Benghazi, namun tidak menemukan apa-apa.
“Khalil sedang dalam misi pelatihan reguler,” kata Bajigni. “Pesawatnya tidak bersenjata dan tidak membawa tangki bahan bakar. Dia baru saja mendapat masker pernapasan baru hari itu. Ketika dia naik ke ketinggian [16.404 kaki], dia lupa mengaktifkan oksigen 100 percen dan mengalami hipoksia.”

“Setelah mendaki ke [39.370 kaki], kontak dengan dia hilang. Wingnya memanggilnya berkali-kali, namun Khalil tidak merespons. Kepalanya terkulai saat terakhir kali terlihat dan semua upaya untuk berkomunikasi dengannya gagal. MiG-nya – yang dipasang di semi auto-pilot dipasang pada ‘mode lurus dan naik, jadi dia terbang menjauh. Akhirnya, dia jatuh di Italia setelah kehabisan bahan bakar. Laporan kecelakaan yang kami dapatkan dari pihak berwenang Italia tidak menunjukkan adanya jenis tabrakan atau kerusakan tempur apapun. ”
Tetapi teori konspirasi muncul bahwa pesawat itu memang ditembak jatuh sebagai balas dendam atas kecelakaan DC-9 Itavia.
Tubuh Khalil kembali ke Libya dengan penghormatan militer penuh – meski dengan biaya Italia. Orang-orang Libia menolak membayar pengangkutannya dari Roma ke Tripoli. Bangkai pesawat terbangnya menyusul beberapa tahun kemudian tetapi tidak dengan radio ARK-15, yang diserahkan orang Italia ke dinas intelijen Amerika dan diprotes Libya. Jadi jelas, kecelakaannya di Gunung Sila sama sekali tidak terkait dengan jatuhnya DC-9 Itavia.