Duta Besar Singapura untuk Indonesia mengatakan bahwa mantan perwira Angkatan Udara Indonesia telah salah mengartikan fakta saat berbicara dengan media lokal tentang Flight Information Region (FIR) Singapura.
“Komentar mereka, seperti diberitakan, salah mengartikan fakta. Pertama, FIR bukanlah masalah kedaulatan,” kata Duta Besar Singapura untuk Indonesia Anil Kumar Nayar dalam suratnya kepada MetroTVnews yang diposting di Facebook Kedutaan Besar Singapura pada Selasa 12 Desember 2017 dan dikutip Straitstimes.
“Ini didasarkan pada pertimbangan operasional dan teknis untuk menyediakan layanan kontrol lalu lintas udara yang efektif.”
Surat ini menanggapi laporan MetroTVnews.com pada 30 November berjudul “Pemerintah Harus Segera Kendalikan Penerbangan di Langit Kepri”.
Laporan tersebut memuat komentar mantan Kepala Staf Angkatan Udara Indonesia, Marskal Muda (Purn) Chappy Hakim dan ketua Pusat Tenaga Listrik Indonesia Marsekal Udara (Purn) Koesnadi Kardi.
“Secara logika, pada umumnya negara besar yang berkewajiban membantu negara tetangga yang lebih kecil dan bukan sebaliknya,” kata Chappy kala itu.
Dia meyakini Singapura akan mempertahankan mati-matian wewenang atas pengaturan lalu lintas udara di FIR Natuna. Sebenarnya, lanjut dia, usaha mengembalikan kedaulatan dan kehormatan Indonesia dapat dilakukan. Terlebih, FIR Natuna adalah kawasan critical border bagi Indonesia di Selat Malaka. Namun, perlu diingat, dibutuhkan kemauan dan keberanian yang luar biasa.
“Salah satunya dengan pembuatan badan bersama ATC (air traffic control) Indonesia-Singapura yang mengalokasikan pemasukan dari hasil pengelolaan wilayah udara kedaulatan kita yang berada di bawah FIR Natuna untuk menyiapkan peralatan dan peningkatan kualitas SDM ATC Indonesia,” ujar dia.
Sementara Ketua Air Power Centre of Indonesia (APCI) Marsda TNI (Purn) Koesnadi Kardi menambahkan selama ini Indonesia sama sekali tidak memiliki taring di FIR Natuna, termasuk TNI Angkutan Udara.
“Karena pesawat TNI Angkutan Udara yang akan take off di negaranya sendiri, misalnya dari Medan ke Pontianak, selalu dipantau dan diwajibkan melapor. Bahkan dimulai ketika menyalakan mesin pesawat,” ujar dia.
Koesnadi menilai hal tersebut hampir mustahil bagi TNI AU untuk melaksanakan misi penerbangan rahasia. Pesawat TNI AU sangat nyata tidak dapat menjalankan tugasnya menjaga wilayah kedaulatan udara dengan bebas.
Sejak 1946, International Civil Aviation Organisation (ICAO) yang bermarkas di Montreal, Kanada, mendelegasikan pengelolaan ruang udara di atas Kepulauan Riau (Batam dan Natuna yang disebut FIR Natuna) kepada Singapura. Pendelegasian itu berdalih demi menjamin keselamatan penerbangan sipil.
Namun Duta Besar tersebut mencatat: “Prioritas utama adalah keselamatan penerbangan. Masalah kompleks ini berada di bawah International Civil Aviation Organisation (ICAO), dan melibatkan negara-negara lain dan pengguna internasional dari wilayah udara sibuk yang dilindungi oleh FIR.”
“Bukan hal yang aneh bagi otoritas lalu lintas udara satu negara untuk menyediakan layanan pengelolaan lalu lintas udara di wilayah udara teritorial negara lain. Indonesia, misalnya, menyediakan layanan pengelolaan lalu lintas udara di wilayah udara yang termasuk negara lain,” tambahnya.