Apa Sebenarnya Gerakan Intifadah Itu?

Apa Sebenarnya Gerakan Intifadah Itu?

Gerakan Intifadah kedua pecah pada 2000. Aksi perlawanan meletus sebagai reaksi atas kunjungan mantan perdana menteri Israel Ariel Sharon dan sekitar 1.000 aparat kepolisian.

Kunjungan dilakukan pada 28 September 2000. Ariel Sharon mengeluarkan pernyataan kontroversial yang memprovokasi umat Islam, terutama Mulsim Palestina.  “Temple Mount berada di tangan kita,” ujar Sharon.

Temple Mount merupakan sebutan Israel bagi Haram al-Sharif yang di dalamnya terdapat Masjid Al-Aqsa. Zionis menganggap di dalam kompleks tersebut berdiri kuil suci Yahudi, Kuil Sulaiman.

Bentrokan pun pecah hampir setiap hari antara warga Palestina dan aparat Israel. Tentara dan polisi Zionis menindak keras dan menggelar operasi khusus untuk menghukum para pejuang. PBB pun mengeluarkan Resolusi 1322 menyusul aksi kekerasan berlebihan Israel.

Menurut keterangan Palestinian Center for Human Rights, setidaknya 4.973 warga sipil Palestina terbunuh dalam Intifadah kedua. Di antara korban tewas yakni 1.262 anak-anak, 274 wanita dan 32 personel medis. Mayoritas korban akibat serangan udara yang dilakukan Israel ke populasi padat penduduk di Jalur Gaza, dan aksi kericuhan di Tepi Barat, termasuk di kamp-kamp pengungsi.

Kelompok hak asasi manusia Israel B’Tselem melaporkan, aparat Israel telah memblokade akses ke kota-kota Palestina. Mereka memblokade dengan menggunakan beton atau membuat parit yang dalam. Israel juga membuat pos pemeriksaan dan memberlakukan jam malam.

Pada 16 Juni 2002 Israel mulai membangun Tembok Apartheid. Mayoritas tembok berdiri di tanah Palestina.  Dengan tembok itu Israel dengan mudah menganeksasi lahan milit Palestina. Pengadilan internasional menyebut pembangunan itu ilegal dan harus dihentikan.  Tidak ada waktu persis kapan Intifadah kedua berakhir. Namun banyak sumber menyebut awal 2005 intensitas perlawanan sudah berkurang.

Generasi Baru Perlawanan Palestina

Jelang tahun baru Yahudi 2015, bentrokan pecah di dalam komplek Masjid Al-Aqsa. Aparat Zionis dengan semena-mena melepaskan tembakan peluru karet, gas air mata dan granat kejut ke jamaah masjid.  Mereka masuk ke dalam masjid dengan menggunakan sepatu pantofel.

Sejumlah infrastruktur di dalam masjid rusak, termasuk karpet yang terbakar. Israel juga menerapkan pembatasan ke Al-Aqsa bagi umat Islam.

Aksi bentrokan merembet ke luar kompleks masjid. Pemuda-pemuda Palestina di Tepi Barat melemparkan batu, bom molotov ke aparat Israel. Aksi perlawanan terhadap Israel tidak hanya melibatkan para lelaki namun juga remaja putri Palestina.

Mereka adalah generasi-generasi baru berpendidikan yang menentang aksi pendudukan Israel dan penodaan terhadap Masjid Al-Aqsa.   Tak hanya itu, sejumlah warga Palestina yang nekat melakukan aksi penusukan atau penikaman. Sasarannya tentara dan warga Israel.

Kondisi itu membuat waswas warga Israel, khususnya yang berada di Yerusalem. Media-media Israel sangat berhati-hati menyebut gerakan perlawanan ini sebagai Intifadah. Adapun kelompok Hamas Palestina, mendukung gerakan Intifadah tersebut.

Pejabat Israel menyebut serangan sporadis warga Palestina sebagai “lone wolves” atau orang-orang yang beroperasi mandiri tanpa ada pihak tertentu di belakangnya. Model serangan ini sulit terdeteksi, baik sasaran maupun pelaku.

Aparat Israel melakukan sejumlah langkah keras untuk menghadapi aksi konfrontasi. Petugas tidak segan-segan menembak mati pelaku penembakan, bahkan jika pelaku penyerangan masih bocah.

Zionis juga tak segan menggunakan peluru tajam untuk menghadapi demonstran Palestina. Ahmad Sharaka, bocah Palestina berusia 13 tahun termasuk korban tewas yang merasakan keganasan peluru Zionis.  Israel juga melakukan pengawasan ketat terhadap permukiman Palestina di Yerusalem Timur. Petugas mendirikan pos-pos pemeriksaan. Menurut sumber, tiga dari empat jalur utama buat kendaraan ke pemukiman ditutup.