Korea Selatan menggenjot kampanye propaganda melawan Korea Utara dengan memasang speaker ultra-keras di perbatasan.
Melalui pengeras suara yang memekakkan telinga tersebut, Seoul telah menyiarkan berita tentang kondisi seorang tentara Korea Utara, yang membelot awal bulan ini dan sempat dikejar dan ditembak oleh rekan-rekannya. Tentu saja, siaran tersebut menggambarkan bahwa membelot akan menjadikan kehidupan mereka lebih baik.
Sebagaimana dilaporkan Mirror Minggu 26 November 2017, pesan yang disiarkan Radio ‘Freedom Voice’juga menyoroti dugaan pelanggaran perjanjian gencatan senjata oleh tentara yang mengejar dan menembaki temannya tersebut.
Tentara Korea Utara diduga melewati garis demarkasi militer saat mengejar pembelot. Prajurit itu sendiri kemudian diselamatkan oleh tentara Korea Selatan dan Amerika dengan menyeretnya ke lokasi yang aman dan dibawa ke rumah sakt. Dokter yang merawatnya telah melaporkan tanda-tanda malnutrisi.

Penggunaan pengeras suara bukanlah strategi baru dan terus dilanjutkan setelah uji coba nuklir keempat Korea pada bulan Januari. Cara digambarkan sebagai ‘perang psikologis’ oleh media Korea Selatan.
Pengeras suara ini sangat keras hingga dapat didengar sejauh 20km dan dilaporkan telah mempengaruhi tentara Korea Utara. Setelah pembelotan pada 13 November Korea Utara telah mengambil tindakan untuk mencegah kejadian serupa dengan menggali parit dalam dan memasang gerbang di ‘The 72-hour Bridge’.
Pria tersebut berusaha melintasi zona demiliterisasi pada hari Senin saat sebuah roda terlepas, memaksa dia untuk keluar dan terus melarikan diri dengan berjalan kaki.
Roh Jae-cheon, juru bicara Kepala Staf Gabungan Selatan, mengatakan tentara Korea Utara kemudian mulai menembaki tentara yang berhasil bersembunyi sebelum diselamatkan oleh Korea Selatan. Sekitar 40 peluru ditembakkan saat pembelot melakukan pelariannya yang berani.