Harakat Hizbullah al Nujaba, milisi Irak yang berjuang keras melawan ISIS pada Kamis 23 November 2017 mengindikasikan akan menyerahkan senjata berat yang mereka miliki kepada militer setelah ISIS berhasil dikalahkan. Kelompok tersebut juga menolak undang-undang kongres Amerika yang menyebut mereka sebagai kelompok teroris.
Harakat Hizbullah al Nujaba, memiliki sekitar 10.000 pejuang dan menjadi salah satu milisi terpenting di Irak. Meskipun terdiri dari orang Irak, kelompok ni setia kepada Iran dan membantu Teheran membuat rute pasokan melalui Irak ke Damaskus.
Nujaba bertarung di bawah payung Popular Mobilization Forces (PMF), sebuah koalisi milisi Syiah yang didukung oleh Iran dan memainkan peran penting dalam perang melawan ISIS.
Melucuti senjata PMF dipandang sebagai ujian paling sulit bagi Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi karena pasukan Irak semakin dekat untuk mengumumkan kemenangan atas ISIS.
“Senjata berat itu milik pemerintah Irak, bukan kami. Kami bukan pemberontak atau agen kekacauan dan kami tidak ingin menjadi negara dalam sebuah negara,” kata Hashim al-Mouasawi, juru bicara kelompok tersebut, pada sebuah konferensi pers Kamis.
Dia menanggapi sebuah pertanyaan Reuters mengenai apakah kelompoknya akan mematuhi perintah Abadi, yang sebagai perdana menteri memerintahkan militer, untuk mengembalikan persenjataan berat, mengurangi jumlah pejuang, atau menarik diri dari Suriah. Dia tidak akan tertarik pada pengurangan pejuang atau Suriah.
“PMF berada di bawah komando Panglima Angkatan Bersenjata dan tentu saja saat perang usai dan kemenangan diumumkan, keputusan terakhirnya adalah keputusannya,” kata Mouasawi.
Komentarnya disambut juru bicara militer Irak Brigadir Jenderal Yahya Rasool. “Tank, kendaraan lapis baja, dan senapan mesin milik tentara dan wajar jika setelah pertempuran berakhir, mereka kembali ke tentara,” kata Rasool kepada Reuters dalam sebuah wawancara.
Nujaba sangat keberatan dengan keputusan Washington yang menunjuknya sebagai kelompok teroris. Bahkan Nujaba menyalahkan Amerika Serikat yang telah menciptakan ISIS, meski dia tidak membeberkan bukti tuduhan tersebut.
Anggota Kongres dari Partai Republik Ted Poe memperkenalkan sebuah RUU bulan ini yang akan menempatkan Nujaba dan milisi lain yang setia kepada Iran dalam daftar kelompok teroris dan memberi Presiden Donald Trump 90 hari untuk menjatuhkan sanksi atasnya setelah RUU itu disahkan.
RUU tersebut dirujuk ke Komite Urusan Luar Negeri Kongres, yang memicu kecaman di Baghdad baik dari anggota parlemen Irak dan Abadi sendiri, yang mengatakan bahwa dia tidak akan membiarkan siapa pun yang memerangi ISIS diperlakukan sebagai penjahat.
“Menuduh kami melakukan terorisme bukanlah hal baru atau mengejutkan, ini bukan kebetulan, dan tidak mengejutkan kami, karena kami tidak pernah menjadi bagian dari blok atau proyek Amerika,” kata Mouasawi.
Irak didukung oleh Amerika Serikat dan Iran dalam perjuangan melawan ISIS. Amerika Serikat khawatir bahwa Iran akan memanfaatkan keuntungan melawan ISIS di Irak dan Suriah untuk memperluas pengaruhnya setelah invasi AS pada tahun 2003.
Puluhan ribu orang Irak mengindahkan seruan untuk mengangkat senjata pada tahun 2014 setelah ISIS merebut sepertiga wilayah negara tersebut dan kemudian membentuk PMF, yang menerima dana dan pelatihan dari Teheran dan telah dinyatakan sebagai bagian dari aparat keamanan Irak.
Mereka dibayar oleh pemerintah Irak dan secara resmi melapor kepada Perdana Menteri, namun beberapa politisi Arab Sunni dan Kurdi menggambarkan milisi tersebut sebagai cabang de facto Garda Revolusi Iran atau Islamic Revolutionary Guards Corp (IRGC).
Mouasawi secara terbuka mengatakan pada hari Kamis bahwa kelompoknya menerima dukungan dalam bentuk “nasehat” dari Garda dan komandan operasi asingnya, Mayjen Qassem Soleimani, serta kelompok militer Syiah Lebanon Hizbullah.