Ketika berjalan dengan kecepatan 5 Mach, Anda bisa mengelilingi dunia hanya dalam waktu kurang dari tujuh jam. Daya tariknya terhadap industri kedirgantaraan sudah jelas dan menjanjikan banyak manfaat potensial, menumbuhkan senjata dan platform generasi baru untuk kekuatan udara di masa depan.
Meskipun konsep penerbangan hipersonik telah ada sejak lama, tidak mudah mengubah gagasan itu menjadi kenyataan. Sangat sulit untuk menciptakan benda yang mampu berjalan lebih dari lima kali kecepatan suara atau lebih dari 3.836 mil per jam atau 1,7 kilometer per detik.
Ada tantangan besar untuk membangun desain badan pesawat terbang yang bisa bertahan bergesekan dengan udara pada kecepatan itu termasuk suhu di atas 1.500 derajat celcius yang akan melelehkan bahan pesawat konvensional.
Pada kecepatan hipersonik yang relatif rendah, ikatan molekul di udara itu sendiri bergetar, mengubah gaya aerodinamika yang bekerja di permukaan pesawat terbang; lebih cepat ikatan tersebut akan tercabik, menghasilkan plasma terionisasi, terisi listrik di sekitar kendaraan. Ini jelas bukan tantangan ringan. Namun mengingat sejumlah keberhasilan tes besar baru-baru ini, angkatan udara hipersonik mungkin tidak lagi begitu jauh.
Pada bulan Juli, muncul berita bahwa Air Force Research Laboratory (AFRL) Amerika dan Defence Science and Technology Group (DST) Australia telah berhasil menyelesaikan sebuah uji terbang sebagai bagian dari program Hypersonic International Flight Research Experimentation (HiFIRE).
Penerbangan tersebut berlangsung di kisaran uji Woomera di Australia Selatan dan dari beberapa rincian tersedia tampaknya uji ini melibatkan peluncuran hipersonik glider, ‘Hyshot-V’, ke luar angkasa dengan pendorong roket. Menurut sebuah pernyataan dari BAE Systems, salah satu organisasi mitra dalam proyek tersebut bersama dengan Boeing dan University of Queensland, ini adalah “yang paling kompleks dari semua penerbangan HIFiRE yang dilakukan sampai saat ini.”
Selanjutnya, direncanakan pada tahun 2019, mereka akan menerbangkan Hyshot secara horizontal di bawah kekuatannya sendiri, sampai satu menit di sekitar Mach 8. Mencapai kecepatan hipersonik tanpa roket, bagaimanapun, memerlukan jenis mesin yang sangat berbeda.
Scramjet
Suhu dan tekanan secara efektif telah membatasi kemampuan mesin turbo-jet konvensional hanya mampu mencapai kecepatan maksimum tidak lebih dari 3 Mach sebelum lingkungan internal menjadi terlalu panas dan akan menjadikan bagian mesin yang bergerak berfungsi.
Kecepatan di atas 3 Mach secara tradisional menggunakan roket. Tetapi tidak seperti jet, roket harus membawa semua oksigen yang diperlukan untuk pembakaran itu sendiri, yang kadang-kadang dapat menghasilkan 60% dari berat keseluruhan kendaraan. Solusinya adalah scramjet, sebuah versi dari mesin ramjet supersonik, air-breathing jet engine yang menggunakan gerakan maju mesin itu sendiri untuk menekan udara yang dibutuhkan, tanpa memerlukan mekanisme kompresor turbo-jet.
Sistem ramjet / scramjet sendiri memiliki satu keterbatasan utama yakni hanya bisa menghasilkan daya dorong saat mesin bergerak, dan itu berarti tidak bisa berakselerasi dari awal. Pesawat hipersonik bertenaga scramjet juga memerlukan mesin konvensional, untuk membawanya ke udara dan membawanya ke kecepatan udara awal yang diperlukan agar scramjet bisa bekerja.
Sebuah jet tempur masa depan yang mampu melakukan kecepatan hipersonik, tentu saja, merupakan prospek yang menarik bagi angkatan udara manapun. Hingga tidak mengejutkan bila ada proyek penelitian yang sedang berlangsung di sejumlah negara yang mencari keunggulan dari teknologi ini.
Sejarah pesawat tempur dari era piston hingga mesin jet, membuktikan bahwa pesawat tempur yang lebih baik berarti lebih cepat, setidaknya sampai semua orang memiliki pesawat tempur denganj turbo-jet yang karena karakter siluman maka tidak mengandalkan kecepatan untuk bisa menyerang lawan.
Tetapi sekarang, saat kemampuan deteksi terus meningkat di belahan dunia, maka pendulum akan berayun kembali. Kecepatan akan menggantikan siluman sebagai faktor kunci dalam pertarungan udara.