Pemerintah Amerika Serikat secara resmi menyebut operasi militer Myanmar terhadap masyarakat muslim Rohingya sebagai sebuah pembersihan etnis. Washington juga mengatakan akan mempertimbangkan sanksi yang ditargetkan terhadap mereka yang bertanggung jawab.
“Setelah melakukan analisis yang teliti dan cermat terhadap fakta-fakta yang ada, jelas bahwa situasi di negara bagian Rakhine utara merupakan pembersihan etnis terhadap Rohingya,” kata Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Rex Tillerson dalam sebuah pernyataan Rabu 22 November 2017.
Meskipun seorang pejabat tinggi PBB pada bulan September menggambarkan tindakan militer tersebut sebagai sebuah buku teks tentang “pembersihan etnis,” Tillerson belum menggunakan istilah tersebut saat meninggalkan Myanmar pada kunjungannya minggu lalu.
Pernyataannya memperjelas bahwa sikap Amerika telah bergeser. “Pelanggaran ini oleh beberapa orang di antara militer Birma, pasukan keamanan, dan warga setempat telah menyebabkan penderitaan yang luar biasa dan memaksa ratusan ribu pria, wanita, dan anak-anak untuk meninggalkan rumah mereka di Burma untuk mencari perlindungan di Bangladesh,” katanya.
Tillerson menambahkan Amerika Serikat mendukung penyelidikan independen atas apa yang terjadi di negara bagian Rakhine dan akan melakukan tindakan termasuk kemungkinan sanksi yang ditargetkan. “Mereka yang bertanggung jawab atas kekejaman ini harus dimintai pertanggungjawabannya,” katanya sebagaimana dilansir Reuters.
Pemantau hak asasi manusia menuduh militer Myanmar melakukan kekejaman, termasuk pemerkosaan massal terhadap Rohingya yang tidak memiliki kewarganegaraan selama operasi pembersihan yang dilakukan setelah serangan militan Rohingya di 30 pos polisi dan sebuah pangkalan militer. Sebelum kejadian itu muslim Rohingya terus ditekan dan mendapat perlakuan kejam tanpa ada pembelaan.
Lebih dari 600.000 muslim Rohingya telah meninggalkan negara bagian Rakhine di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha, kebanyakan ke negara tetangga Bangladesh.
Tekanan telah meningkat agar Amerika memberikan respons yang lebih keras terhadap krisis Rohingya sebelum kunjungan perdana wanita Donald Trump ke Asia bulan ini untuk menghadiri pertemuan puncak negara-negara Asia Tenggara, termasuk Myanmar, di Manila.