Tiga dekade setelah kekalahan memalukan di Afghanistan, Rusia kembali ke tempat ini. Moskow menambahkan Afghanistan ke daftar panjang titik api – dari Suriah dan Libya hingga Venezuela dan Ukraina – di mana dengan biaya rendah Moskow bisa mendapatkan dampak tinggi dari kebijakan luar neger mereia.
Di Afghanistan, Kremlin secara diam-diam mendukung Taliban dan kelompok lainnya, serta mengadakan pembicaraan regional dengan Pakistan, Iran dan China. Meski Taliban adalah musuh Rusia dalam perang Afghanistan tahun 1990-an, tampaknya sekarang situasi berbalik arah.
Pejabat Afghanistan dan Amerika mengklaim bahwa sejak tahun 2015, Rusia telah menyediakan dana dan senjata untuk kelompok Taliban. Sebuah laporan CNN pada bulan Juli 2017 mengklaim bahwa senjata Rusia dipindahkan ke pejuang Taliban. Sebuah laporan di Times of London mengutip sumber Taliban juga menyimpulkan bahwa Rusia menyalurkan dana ke Taliban melalui perdagangan bahan bakar lintas batas.
Rusia telah membantah tuduhan tersebut, namun mengakui kontak diplomatik dengan Taliban, dengan alasan bahwa karena keduanya memerangi cabang ISIS di wilayah tersebut.
Pejabat di Moskow percaya bahwa meski Taliban fokus terutama pada konflik domestik di Afghanistan, ISIS menimbulkan ancaman transnasional ke negara-negara Asia Tengah dan bahkan ke Rusia sendiri. Ribuan warga Rusia telah melakukan perjalanan ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS atau dengan kelompok militan lainnya.
David Lewis, Senior Lecturer, Politics, University of Exeter dalam tulisannya di The Conversation Selasa 14 November 2017 menyebutkan pemikiran pemerintah Rusia tentang ancaman dari ISIS menjadi salah satu dasar teori konspirasi bahwa ISIS adalah sebuah proyek Amerika yang bertujuan untuk mendestabilisasi Rusia.
Rusia berkali-kali menyatakan Amerika justru mendukung ISIS. Terakhir, Moskow secara jelas menyatakan koalisi Amerika Serikat tidak mau menyerang kelompok ISIS yang dipukul mundur oleh tentara Suriah dan jet tempur Rusia. Koalisi membiarkan konvoi ISIS yang secara jelas membawa senjata berat.
Sebelumnya pada Juni, Kementerian Luar Negeri Rusia juga mengeluhkan adanya “helikopter tak dikenal” memasok kembali ISIS, dan menyiratkan bahwa mereka terkait dengan pasukan Amerika.
Zamir Kabulov, utusan khusus Rusia ke Afghanistan, mengklaim pada tahun 2016 bahwa pejuang ISIS tidak fokus pada konflik Afghanistan, namun “sedang dipersiapkan untuk perang melawan Asia Tengah, melawan kepentingan Rusia”.
Dengan investasi yang relatif terbatas, Afghanistan menawarkan kesempatan ideal bagi Rusia untuk maju dalam persaingan geopolitiknya dengan Barat. Pejabat Rusia mengatakan bahwa pangkalan Amerika di Afghanistan merupakan bagian dari rencana untuk mendominasi wilayah tersebut dan mengancam Rusia melalui Asia Tengah.
Namun Afghanistan juga dipandang sebagai titik lemah dalam strategi regional Amerika di mana pasukan Amerika tak juga berhasil mengalahkan Taliban dan menjadikan situasi negara tersebut stabil meski perang telah berlangsung 16 tahun lebih.
Kebijakan Afghanistan yang aktif juga membantu memperluas peran Rusia di Asia Tengah dan memenangkan kembali pengaruh yang hilang di bekas Republik Soviet seperti Turkmenistan dan Uzbekistan. Kepemimpinan di kawasan ini cemas akan tumpahan kekerasan dari Afghanistan, dan ketika mereka berada di bawah ancaman, mereka cenderung melihat ke Moskow untuk mendapatkan dukungan.
Peran dalam permainan akhir Afghanistan juga memberi Moskow peningkatan pengaruh dalam hubungannya dengan China. Rusia ingin memastikan mreka tidak dipinggirkan oleh China’s Belt and Road Initiative. Harapan terbaiknya untuk mempertahankan pengaruh adalah menjadikan dirinya sebagai kekuatan keamanan dan diplomatik yang dominan di wilayah luas yang disebut Greater Eurasia.
Pada bulan Desember 2016, Rusia mengadakan pertemuan di Afghanistan dengan Pakistan dan China dan putaran kedua berlangsung pada bulan Februari dan April 2017 yang diperlebar dengan keikutsertaan India, Iran, negara-negara Asia Tengah, dan pemerintah Afghanistan. Sementara Amerika. menolak untuk berpartisipasi.
Rusia juga menghidupkan kembali “Contact Group” Co-operation Shanghai, dengan Afghanistan, yang menyelenggarakan pertemuan pejabat dari negara anggota organisasi tersebut di Moskow pada bulan Oktober.
Pembicaraan ini belum menghasilkan satu terobosan besar, namun memberikan kerangka kerja yang memungkinkan untuk upaya regional di masa depan untuk mengatasi konflik tersebut. Amerika di satu sisi telah gagal mengembangkan platform kebijakan regional yang layak di Afghanistan.
Quadrilateral Contact Group yang dipimpin Amerika memulai pembicaraan di Oman pada bulan Oktober 2017 setelah lebih dari satu tahun absen, menunjukkan sedikit tanda untuk mencapai terobosan apa pun.
Hubungan Rusia dengan Taliban masih bisa menjadi bumerang. Banyak pemberontak tidak senang dengan prospek hubungan dekat dengan Moskow, sementara kelemahan ekonomi Rusia memberi batasan seberapa besar pengaruhnya terhadap pasar luar negeri. Tetapi jika Moskow dapat mempertahankan strategi keterlibatan on-the-ground saat ini ditambah dengan diplomasi regional, pasti akan berperan dalam permainan akhir.