Penyanderaan 1.300 Warga Papua oleh Kelompok Bersenjata Belum Berakhir

Penyanderaan 1.300 Warga Papua oleh Kelompok Bersenjata Belum Berakhir

Penyanderaan sekitar 1.300 yang bermukim di sekitar Kimberly hingga Banti, Distrik Tembagapura, Papua oleh kelompok bersenjata belum menemui titik akhir. Baik polisi maupun tentara masih mencoba menggunakan jalur diplomasi.

Sementara Dinas Kesehatan Mimika bersiap untuk kemungkinan adanya evakuasi ribuan warga tersebut. Sekretaris Dinas Kesehatan Mimika Raynold Ubra di Timika Kamis 9 November 2017 mengatakan tim kesehatan Mimika terpadu melibatkan berbagai sektor yaitu Dinkes Mimika, Polres Mimika melalui Klinik Tribrata, Kodim 1710 Mimika melalui Rumah Sakit Bantuan TNI AD, RSUD Mimika, Rumah Sakit Mitra Masyarakat (RSMM) dan Puskesmas Timika.

“Sejak beberapa hari lalu kami terus bersiaga penuh mengantisipasi jangan sampai sewaktu-waktu ada evakuasi warga dari Tembagapura ke Timika. Penanganan langsung kami berikan kepada penduduk yang dievakuasi dalam kondisi sakit di posko. Kalau memang harus dirujuk maka kami sudah menyiapkan dua rumah sakit yaitu RSUD dan RSMM,” jelas Raynold.

Kampung-kampung sekitar Tembagapura seperti Utikini Lama, Kimbeli, Waa-Banti, Opitawak hingga Aroanop kini dalam kendali kelompok bersenjata. Pemerintah Indonesia tidak menyebutnya sebagai kelompok sparatis tetapi sebgai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang melancarkan serangkaian teror penembakan kepada aparat keamanan maupun fasilitas milik PT Freeport Indonesia.

Kapolda Papua Irjen Polisi Boy Rafli Amar yang sejak beberapa hari lalu bersama Pangdam XVII/Cenderawasih berada di Tembagapura mengakui ribuan warga sipil itu kini tersandera oleh KKB yang berjumlah sekitar seratusan orang.

“Warga sipil tidak diizinkan beraktivitas atau bepergian termasuk untuk membeli bahan makanan. KKB saat ini menjadikan warga sipil sebagai tameng dan sandera,” kata Boy Rafli.

Dari 1.300 warga sipil yang diperkirakan bermukim di kampung-kampung sekitar Tembagapura itu, sekitar 300-an diantaranya merupakan para pendulang emas tradisional yang selama ini mengais rezeki di sepanjang bantaran Kali Kabur (Sungai Aijkwa) dan sebagian lagi merupakan pendagang barang kebutuhan pokok yang membuka kios-kios di sekitar Banti hingga Kimbeli. Mereka berasal dari berbagai suku seperti Toraja, Bugis, Jawa dan suku-suku asli Papua lainnya.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan agar jajarannya menggunakan teknik negosiasi dengan melibatkan tokoh setempat untuk membebaskan warga yang disandera oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua.

“Dengan negosiasi melibatkan [tokoh] gereja dan tokoh adat dan tokoh masyarakat. Mudah-mudahan bisa diselesaikan dengan cara ‘soft’ dan damai,” kata  Tito di  Jakarta, Kamis sebagaimana dilaporkan Antara

Namun bila cara damai tidak berhasil. Maka, aparat terpaksa melakukan upaya penegakkan hukum.   Menurut dia, kelompok-kelompok separatis ini merupakan kelompok yang lama ada di Papua. Kelompok ini terbentuk karena sama-sama memiliki tingkat perekonomian yang rendah dan merasakan ketidakpuasan terhadap pemerintah. “Motifnya masalah ekonomi, ketidakpuasan. Kadang dibawa ke isu separatisme,” katanya. Menurutnya saat ini ada 1.000 personel gabungan Polri-TNI yang lakukan pengamanan hingga wilayah pelabuhan.

Hingga saat ini, menurut dia, ada beberapa anggota kelompok bersenjata yang telah dilumpuhkan. Para anggota kelompok bersenjata itu biasanya berbaur dengan warga yang bekerja sebagai pendulang.

“Mereka [KKB] mendulang juga. Tapi kadang mereka melakukan kekerasan kepada pendulang pendatang,” katanya.

Para anggota KKB juga kerap memanfaatkan masyarakat lokal dan pendatang untuk melindungi keselamatan kelompok mereka. “Para pendulang disandera, dijadikan tameng,” katanya.

Menurut Kapolri, jumlah anggota KKB ini sekitar 20-25 orang. Mereka biasanya tidak tinggal menetap namun selalu berpindah-pindah lokasi. “Jumlah KKB enggak banyak, paling banyak 20 – 25 orang. Mereka belakangan beraksi menyerang masyarakat dan petugas,” katanya.

Sementar Reuters dalam laporannya menyebut penyandera sebagai klelompok separatis bersenjata dan telah menduduki lima desa di provinsi Papua. Mereka  mengancam untuk mengganggu tambang tembaga raksasa Grasberg milik Freeport-McMoRan Inc.

Sebuah keadaan darurat telah diumumkan dan sekitar 300 pasukan keamanan tambahan telah dikirim ke wilayah pertambangan di provinsi timur tersebut setelah serangkaian penembakan sejak 17 Agustus yang menewaskan satu petugas polisi dan melukai enam lainnya.

Juru bicara Freeport Indonesia Riza Pratama mengatakan perusahaan tersebut “sangat prihatin” tentang keamanan dan harus menggunakan mobil lapis baja dan helikopter untuk mengangkut pekerja ke dan dari tambang Grasberg di kabupaten Mimika.

Tahun lalu Freeport Indonesia menyumbang sekitar seperempat penjualan global induk perusahaan sebesar 4,23 miliar pound (1,92 juta ton) tembaga.

Freeport yang berbasis di Arizona, produsen tembaga terbesar di dunia, telah bergulat dengan masalah perburuhan di Grasberg dan perselisihan panjang dengan pemerintah Indonesia mengenai hak atas tambang tersebut.

Tambang tersebut juga dipenuhi oleh masalah keamanan karena konflik tingkat rendah yang dilancarkan oleh pemberontak pro-kemerdekaan di Papua selama beberapa dekade. Menurut Reuters, antara tahun 2009 dan 2015, penembakan di dalam wilayah proyek tambang menewaskan 20 orang dan melukai 59 lainnya.