Rencana Amerika untuk menjatuhkan sanksi kepada Mynamar karena perlakuan kejamnya terhadap Muslim Rohingya dinilai Yangoon akan memunculkan konsekuensi buruk bagi negara tersebut. Sanksi tersebut akan menghalangi pemerintah sipil yang baru berbagi kekuasaan dengan para jenderal.
RUU yang diperkenalkan oleh anggota Senat Amerika pada malam keberangkatan Donald Trump dalam lawatan pertamanya ke Asia, berusaha untuk mengajukan beberapa sanksi yang diangkat tahun lalu karena Myanmar diniali telah menerapkan demokrasi.
Sanksi baru akan menyasar sejumlah target dan pembatasan perjalanan terhadap pejabat militer Myanmar dan melarang Amerika Serikat untuk memberikan bantuan kepada militer sampai pelaku kekejaman terhadap orang-orang Rohingya di negara bagian Rakhine bertanggung jawab.
Menanggapi langkah di Washington, juru bicara Aung San Suu Kyi pada Jumat 3 November 2017 2018 mengatakan Myanmar sedang membutuhkan stabilitas internal dan sanksi tersebut akan memunculkan masalah bagi upaya tersebut.
“Kami membutuhkan stabilitas internal untuk memperbaiki ekonomi negara tersebut. Memaksakan sanksi internasional secara langsung mempengaruhi orang-orang dalam perjalanan dan investasi bisnis, dan ada banyak konsekuensi buruk,” katanya kepada Reuters.
Dia menambahkan pejabat Myanmar akan menjelaskan upaya pemerintah terhadap Rakhine saat kunjungan Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson ke negara tersebut yang dijadwalkan akan dilakukan pada 15 November 2017 mendatang.
“Kami akan menjelaskan kepadanya apa yang kami lakukan saat dia datang ke sini. Kita tidak bisa mengatakan kepadanya untuk tidak melakukan itu. Dan kita tidak tahu apa itu kebijakan Amerika, “kata Zaw Htay.
Myanmar sebelumnya terkena sanksi atas penindasan brutal militer terhadap oposisi yang dipimpin oleh Suu Kyi, namun Zaw Htay menekankan bahwa pemerintah sipil masih harus bekerja sama dengan militer.
“Rekonstruksi negara tidak bisa dilakukan hanya oleh pemerintah. Tatmadaw [militer Myanmar] perlu dilibatkan, sangat jelas. Semuanya harus menjalani negosiasi dengan Tatmadaw di bawah konstitusi 2008, ” katanya.
“Sanksi dan tekanan mempengaruhi kerja pemerintah. Ini tidak akan menjadi hasil positif jika mereka menjatuhkan sanksi, seperti pengalaman sebelumnya [sanksi]. ”
Anggota Kongres Amerika telah mendesak tanggapan yang kuat terhadap situasi yang mengancam Rohingya, dan pemerintah Trump telah menyebut tindakan militer Myanmar sebagai “pembersihan etnis”.
Myanmar telah menolak tuduhan tersebut, dan menyebut tindakan militer sebagai operasi kontra-pemberontakan yang dipicu oleh serangan militan Rohingya terhadap 30 pos keamanan di Negara Bagian Rakhine pada 25 Agustus. Padahal kekerasan terhadap Rohingya sudah terjadi jauh sebelum kejadian tersebut.
Lebih dari 600.000 Muslim Rohingya telah meninggalkan Myanmar yang mayoritas beragama Buddha sejak tindakan keras militer yang menyebabkan laporan tentang desa-desa yang terbakar dan pembunuhan yang meluas. Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengecamnya sebagai contoh pembersihan etnis.