Setelah serangan truk Selasa 1 November 2017 yang menewaskan delapan orang dan serangan teror terburuk di New York City sejak 9/11, sejumlah pihak di Amerika mengingatkan bahwa kejadian semacam ini akan terus terjadi dan tidak ada yang paling disalahkan kecuali sikap dari pemerintah Washington sendiri
Profesor Universitas Kota New York Danny Shaw mengatakan kepada Loud & Clear Radio Sputnik mengatakan bahwa terorisme “adalah produk dari kebijakan luar negeri Amerika.”
Tetapi sampai saat ini Gedung Putih benar-benar tidak mau menerima kenyataan tersebut dan menilai tindakannya sebagia yang paling benar. Amerika Serikat merasa berhak melakukan apapun untuk menjaga dirinya dari serangan terorisme yang berakhir dengan terorims itu sendiri.
Hal ini, menurut Shaw, terlihat jelas dari sikap Menteri Luar Negeri Rex Tillerson dan Menteri Pertahanan Amerika James Mattis yang pada hari Senin menganjurkan kelanjutan program global di mana amerika dapat pergi ke mana pun dan menuduh seseorang menjadi teroris serta melakukan intervensi.
Mengacu pada saudara Tsarnaev, yang melakukan pemboman Marathon bulan April 2013, “Mereka mengatakan bahwa mereka diradikalisasi, bukan oleh [ISIS], namun oleh kebijakan luar negeri Amerika di Irak dan Afghanistan. Jadi selama ini terus menjadi genosida, invasi, rekolonisasi Libya, Suriah, Irak, Afghanistan, di Palestina, kita yakin ledakan bumerik kolonial akan berayun kembali [ke Amerika], pendulum akan berayun kembali. ”
Sementara aktivis Cindy Sheehan menjelaskan setelah kejadian 9/11, Amerika menetapkan programnya sendiri untuk melawan teror di seluruh dunia, “dan sekarang efeknya kembali menghantui Amerika.”
Sheehan mengatakan bahwa dia dikejutkan oleh kecepatan laporan media untuk menyebut penyerang hari Selasa sebagai ‘teroris Islam’. Sementara ketika [Stephen] Paddock membunuh 58 orang di Las Vegas media menyebut si pembunuh sebagai orang “terganggu,”
Menurut Sheehan hal ini terjadi, “Karena dia [Paddock] adalah seorang pria kulit putih Amerika. Sayfullo Saipov, penduduk asli Uzbekistan yang catatan sebagai pendukung ISIS diketahui dari sebuah catatan yang ditinggalkan di dekat truk Home Depot yang dia sewa, membunuh delapan orang dan segera diberi label sebagai teroris”.
Tanggapan yang sangat berbeda terhadap penembakan 1 Oktober, yang menyebabkan 58 orang tewas dan melukai ratusan lainnya, dan serangan kendaraan 31 Oktober juga sangat mengejutkan.
Pada tanggal 4 Oktober, tiga hari setelah Paddock membantai tujuh kali lebih banyak dari korban Saipov dan melukai lebih dari 500, Presiden Amerika Donald Trump bersikeras “kita tidak akan membicarakannya hari ini” ketika ditanya tentang undang-undang apa yang bisa diloloskan untuk mencegah penembakan semacam ini terulang.
Tapi Rabu siang, dalam waktu 24 jam setelah serangan New York, Amerika menuduh Saipov melakukan tindakan teror, dan Trump sudah meminta undang-undang segera diubah. Sejak Selasa, Trump telah meminta pemerintah untuk meningkatkan “Program Penyaringan Ekstrim” dan men-tweet bahwa ” Rantai migrasi harus diakhiri sekarang!”
CHAIN MIGRATION must end now! Some people come in, and they bring their whole family with them, who can be truly evil. NOT ACCEPTABLE! pic.twitter.com/PQGeTTdRtX
— Donald J. Trump (@realDonaldTrump) November 1, 2017
Pakar Max Abrahms mengamati pada bulan Agustus, setelah pembunuhan aktivis Heather Heyer di Charlottesville, Virginia, oleh simpatisan yang dianggap benar, “orang umumnya menggunakan istilah [terorisme] secara instrumental, untuk mendelegitimasi aktor yang tidak mereka sukai. Seperti di negara-negara otoriter, di mana para pemimpin akan memberi label pada semua pembangkang sebagai ‘teroris’ apakah mereka menggunakan kekerasan atau tidak. Akademisi cenderung menyetujui siapa yang menjadi teroris dan siapa yang tidak berdasarkan kriteria ini: Seorang teroris adalah aktor non-negara yang menggunakan kekerasan melawan sasaran sipil untuk semacam tujuan politik. ”
Kesimpulannya, Amerika ini layaknya petinju kelas berat tetapi cengeng. Dia merasa bebas mengamuk ke siapa saja, tak peduli lawannya adalah petinju amatir. Tetapi ketika dia dicubit, maka dia marah-marah dan merasa paling menderita.
Amerika dengan perangnya telah membunuh ribuan orang yang sebagian besar tidak bersalah. Seenaknya melakukan intervensi ke negara manapun tanpa memperdulikan kebencian dan penderitaan rakyatnya. Pada akhirnya sikap itulah yang memunculkan kebencian. Mereka berusaha melakukan serangan balik ke Amerika, dan itu dinilainya wajar karena Amerika pada hakikatnya adalah negara yang sedang berperang sehingga layak untuk diserang.