Ada tiga kapal dari korvet Kelas Bung Tomo yang seluruhnya dioperasikan oleh Angkatan Laut Indonesia. Mereka adalah KRI Bung Tomo, KRI John Lie dan KRI Usman Harun. Kapal ini diproduksi di Inggris untuk diekspor yang didasarkan pada desain Yulrow F2000.
Ketiga kapal tersebut mulai beroperasi dengan Angkatan Laut Indonesia pada tahun 2014. Namun, sebenarnya kapal-kapal ini sudah dibangun lebih dari 10 tahun sebelum mereka masuk layanan. Ketiganya juga awalnya tidak dimaksudkan untuk dijual ke Indonesia. Bagaimana situasi hingga kapal ini sampai ke Indonesia juga menjadi salah satu episode paling aneh dalam pengadaan peralatan militer.
Asal-usul kelas ini berasal dari tahun 1995, ketika Angkatan Laut Brunei memesan tiga korvet berdasarkan rancangan F2000 dari GEC-Marconi (sekarang BAE Systems Surface Ships), dalam kesepakatan senilai sekitar US $ 1,2 miliar. Penjualan tersebut disetujui oleh pemerintah Inggris pada bulan Januari 1998, dan pembangunan korvet mulai tahun itu.
Ketiga kapal tersebut semuanya dibangun di galangan kapal BAE Systems Marine di Scotstoun, Glasgow. Tidak jelas kapan pemotongan baja pertama dilakukan, namun ketiga kapal tersebut diluncurkan pada tahun 2001 dan 2002. FF-28 Nakhoda Ragam diluncurkan pada tanggal 13 Januari 2001, FF-29 Bendahara Sakam pada tanggal 23 Juni 2001, dan FF-30 Jerambak pada tanggal 22 Juni 2002.

Pengiriman dan uji coba laut korvet baru telah dilakukan pada tahun 2003, dan akan ditugaskan pada tahun 2004. Setelah uji coba laut, Brunei menolak menerima pengiriman korvet baru tersebut. Sultan Brunei keberatan dengan pengiriman tersebut karena korvet F2000 dinilai tidak selesai sesuai kontrak.
Yang terjadi kemudian perselisihan hukum bertahun-tahun mengenai kontrak tersebut, sementara tiga kapal yang baru selesai ditambatkan tetap berada di Barrow-in-Furness di Inggris. Sebuah penyelesaian dicapai pada bulan Mei 2007, dan kapal akhirnya diserahkan ke Royal Brunei Technical Services (RBTS), atau Kementerian Pertahanan Brunei.
Tetapi kapal tidak segera masuk layanan bahkan anehnya pada tahun 2007, RBTS mengontrak galangan kapal Lurssen Jerman untuk mencari pembeli baru dari kapal tersebut yang kemudian menjadi urusan yang panjang.
Lurssen akhirnya menandatangani kontrak untuk menjualnya ke Angkatan Laut Indonesia pada November 2012. Kelas Nakhoda Ragam ditugaskan pada tanggal 18 Juli 2014, sebagai KRI Bung Tomo (357), KRI John Lie (358), dan KRI Usman-Harun (359).

Namun, kontroversi terus berlanjut ketika Singapura protes keras nama Usman Harun yang merupakan gabungan dua nama yakni Harun Said dan Osman Mohd Ali, dua orang Marinir Indonesia yang ditangkap dan dihukum mati di Singapura karena Bom MacDonald House pada 1965. Tetapi nama itu tetap dipertahankan.
Korvet kelas Bung Tomo memiliki lambung tinggi di bagian depan dengan lebih rendah di bagian tengah dan semakin rendah di bagian belakang. Suprastruktur dan sudutnya rendah, dengan tiang tinggi tunggal berbentuk piramidal , dan funnel belakang dengan tutup yang panjang dan melengkung. Ada beberapa antena atau tonjolan lainnya, yang memberi kesan penampilan sangat keras. Meriam utama dan peluncur rudal Vertikal Launch System (VLS) berada di depan, dan peluncur rudal anti-kapal melintang terjepit di antara suprastruktur dan funnel.
KRI Usman Harun (359) dan KRI John Lie (358)
Sistem C3I kelas Bung Tomo adalah sistem komando dan kontrol senjata Alenia Marconi Systems (now BAE Systems Insyte) Nautis II. Sistem ini memiliki kemampuan untuk mendeteksi, mengidentifikasi, melacak, dan melibatkan ancaman udara, permukaan, dan kapal selam, dan secara otomatis mengoperasikan senjata dan sensor dalam situasi tempur, dan bahkan menavigasi kapal tersebut.
Sistem kontrol sensor dan tembakan mencakup electro-optic weapons director Ultra Electronics / Radamec Series 2500 untuk meriam utama, yang memiliki pengintai jarak jauh yang bersih dan pencitraan inframerah, yang digunakan untuk mengarahkan meriam dan untuk pengawasan.
Sebuah sonar frekuensi menengah Thales Underwater Systems TMS 4130C1; dua radar pelacak BAE Insyte 1802SW I / J-band digunakan untuk memandu rudal permukaan ke udara Seawolf; radar pencarian udara dan permukaan ACE BAE Systems Insyte AWS-9 3D dan F, radar navigasi Tipe Kelvin Hughes 1007; dan radar pencarian permukaan Scales Thales Nederland.
Suite ECM mencakup sistem Thales Sensors Cutlass 242 ESM, Thales Scorpion radar jammer, dan dua wo Wallop Defence Super Barricade chaff mortars.
Awalnya kapal akan didukung oleh empat mesin diesel Ruston & Hornsby dari Inggris, kelas Bung Tomo kemudian dilengkapi dengan empat mesin diesel MAN 20 RK270 dari Jerman (mungkin terkait kesepakatan Brunei dengan galangan kapal Lurssen). Empat mesin ini memiliki gabungan output daya 40 500 shp untuk dua shaft. Bahan bakar cukup dibawa untuk jarak 5.000 mil laut. Turning circle tidak dipublikasikan, namun diperkirakan antara 100 m dan 300 m.
Artileri kelas Bung Tomo terdiri dari senapan serbaguna 76SR “Super Rapid” 76 mm / 62, dan dua senapan anti-pesawat DS30M 30 mm. Baterai rudal mencakup 16 shell peluncuran vertikal untuk SAM Seawolf, dan 8 kontainer / peluncur untuk rudal anti-kapal MM.40 Exocet.
Dua STWS triple-tube launchers untuk torpedo 324 mm dipasang di tengah kapal. Meskipun ini adalah tabung torpedo buatan Inggris, mereka biasa meluncurkan torpedo Mk.46 buatan Amerika.
Kapal-kapal ini juga awalnya dimaksudkan untuk memiliki Close-In Weapon System (CIWS), namun sampai saat ini, tidak ada yang dipasang.
Amunisi tersebut terdiri dari 85 amunisi 76 mm, 640 amunisi 30 mm, 16 Seawolf SAM, 8 rudal anti-kapal Exocet, 6 torpedo Mk.46, dan jumlah yang tidak diketahui dan berbagai persenjataan helikopter. Tidak ada reload untuk Seawolf atau Exocet yang dibawa, sehingga harus mengisi ulang di pelabuhan.
Fasilitas penerbangan kapal ini tidak begitu bagus karena meski memilki landasan untuk satu helikopter tetapi tidak memilki hangar.