Ketika Presiden Donald Trump mulai menjabat pada bulan Januari, tidak jelas apakah pemboman dari kampanyenya akan diterjemahkan ke dalam strategi baru yang agresif melawan terorisme.
Pada masa kampanye ia berjanji untuk “membuat bom neraka” bagi ISIS. Dia secara terbuka memikirkan untuk membunuh keluarga teroris, sebuah pelanggaran mencolok terhadap Konvensi Jenewa, yang melarang kekerasan terhadap orang-orang yang tidak berkepentingan.
Sepuluh bulan setelah dia menjadi presiden sebuah gambaran yang lebih jelas muncul. Data menunjukkan beberapa tren yang mengkhawatirkan.
Menurut penelitian dari kelompok pemantauan nirlaba Airwars, tujuh bulan pertama masa pemerintahan Trump telah menghasilkan lebih banyak kematian warga sipil daripada keseluruhan pemerintahan Obama.
Airwars melaporkan bahwa di bawah kepemimpinan Obama, perang melawan ISIS menyebabkan sekitar 2.300 sampai 3.400 kematian warga sipil. Sementara pada tujuh bulan pertama masa pemerintahan Trump, mereka memperkirakan bahwa serangan udara koalisi telah membunuh antara 2.800 dan 4.500 warga sipil.
Para peneliti juga menunjukkan tren lainnya yakni serangan udara koalisi sering membunuh seluruh keluarga. Pada bulan Mei, misalnya, serangan menyebabkan kematian setidaknya 57 wanita dan 52 anak di Irak dan Suriah.
Kenaikan besar kematian warga sipil tidak terbatas pada kampanye anti-ISIS. Di Afghanistan, PBB melaporkan kenaikan 67 persen kematian warga sipil akibat serangan udara Amerika Serikat dalam enam bulan pertama tahun 2017 dibandingkan dengan paruh pertama tahun 2016.
Pertanyaan utamanya adalah: Mengapa? Apakah peningkatan ini karena adanya perubahan dalam kepemimpinan?
Satu hal yang jelas adalah “otorisasi total” Trump bagi militer untuk menjalankan perang di Afghanistan dan melawan ISIS telah melonggarkan pembatasan era Obama dan meningkatkan toleransi risiko para komandan militer.
“Mereka yang mendekati pertempuran lebih cenderung memanggil kekuatan mematikan dan cenderung tidak mengikuti pendekatan berbasis nilai,” kata Micah Zenko dari Council on Foreign Relations sebagaimana dikutip Business Insider Sabtu 14 Oktober 2017.
Dengan kata lain, fokus yang kuat pada penghancuran elemen ISIS kemungkinan mengesampingkan prioritas untuk melindungi warga sipil. Karena Trump telah mengurangi pengawasan sipil dan mendelegasikan wewenang kepada kolonel daripada jenderal bintang satu, kemungkinan akibatnya adalah korban yang lebih tinggi.
Medan Perang Kota
Penjelasan kedua menunjuk pada sifat perubahan kampanye kontra-ISIS. Pentagon berpendapat bahwa kenaikan korban sipil karena “disebabkan oleh perubahan lokasi” operasi medan perang menjadi perang perkotaan yang padat penduduknya seperti Mosul dan Raqqa.
Tetapi meski perang kota meningkat, tim Trump telah secara substansial meningkatkan serangan udara dan pemboman. Menurut data CENTCOM, militer telah menggunakan rudal dan bom 20 persen lebih banyak dalam operasi gabungan udara pada 2017 daripada di tahun 2016.
Salah satu serangan udara yang menonjol pada bulan Maret, misalnya, menewaskan 105 warga sipil Irak ketika pasukan Amerika menjatuhkan bom seberat 500 pon untuk membunuh dua penembak jitu di Mosul.
Faktanya, analisis Human Rights Watch tentang kawah bom di Mosul Barat memperkirakan bahwa pasukan koalisi Amerika secara rutin menggunakan bom yang lebih besar dan tidak tepat – dengan berat antara 500 dan 1.000 pound – daripada operasi sebelumnya.
Akhirnya, penjelasan medan perang kota juga tidak memperhitungkan kematian warga sipil yang meningkat di Afghanistan akibat serangan udara, di mana lingkungannya tetap statis selama beberapa tahun.