Kekerasan berbasis gender menjadi salah satu bentuk kekerasan paling mematikan di Asia karena telah menewaskan lebih banyak perempuan dibanding konflik bersenjata di beberapa wilayah.
Peneliti dari Tha Asia Foundation yang berkantor di Amerika Serikat, Patrick Barron, mengatakan Jumat 14 Oktober 2017 bahwa penelitiannya selama dua tahun tentang konflik dan kekerasan menunjukkan kekerasan terhadap perempuan di Asia mempunyai dampak yang lebih besar dan lebih mematikan dibanding perkiraan sebelumnya.
Di India, sebagai contoh, penelitian itu membuktikan bahwa lebih dari 8.000 perempuan tewas setiap tahun akibat sengketa mas kawin. Angka ini jauh lebih tinggi dari jumlah kematian akibat pemberontakan kelompok Maoist di negara yang sama, yang hanya menewaskan 278 orang.
“Bukti ini tidak absolut, namun jelas ini mengindikasikan bahwa kekerasan berbasis gender adalah salah satu pembunuh paling mematikan di Asia,” kata Barron kepada Reuters.
“Kami telah menyaksikan meningkatnya angka kekerasan saat perempuan mulai memperjuangkan hak mereka,” kata direktur The Asia Foundation untuk bagian konflik dan pembangunan regional itu.
Barron mengatakan bahwa kecenderungan yang sama juga terjadi di Nepal, di mana kekerasan berbasis gender telah menjadi sebab kematian tertinggi tahun ini.
Pembunuhan demi “kehormatan”, sengketa mas kawin, dan eksekusi terhadap para perempuan yang dianggap penyihir terus-menerus terjadi di sejumlah bagian Asia Selatan, termasuk di antaranya India dan Pakistan. Padahal dua negara itu sudah bertahun-tahun menggelar kampanye untuk menghentikan budaya itu.
Selain itu, budaya kuno mengucilkan perempuan dan remaja puteri yang tengah menjalani masa menstruasi juga masih terjadi di Nepal. Hal ini menyebabkan banyak di antara mereka yang tewas diserang binatang buas atau digigit ular berbisa.
Penelitian Barron yang dipublikasikan pada Kamis itu juga menunjukkan bahwa kekerasan berbasis gender juga menjadi penyebab kematian yang tinggi di beberapa negara Asia Tenggara seperti Indonesia dan Timor Leste. Namun dia mengaku kekurangan data untuk menyimpulkannya.
“Masalahnya, banyak kekerasan jenis ini yang terjadi di rumah tangga, dan karena adanya norma budaya yang melarang orang untuk turut campur, banyak kejadian yang tidak dilaporkan,” kata dia.
Barron mengaku berharap temuannya bisa memicu para anggota parlemen untuk segera bertindak mengatasi situasi.
Mas kawin–yang umumnya berbentuk perhiasan, kendaraan, atau uang–diberikan oleh keluarga mempelai wanita kepada orangtua calon suami. Praktik ini ditujukan untuk memastikan agar sang istri, yang tinggal di rumah baru bersama mertua, dirawat dengan baik.
Budaya itu sudah dilarang di India, namun masih dipraktikan secara luas. Sengketa muncul saat keluarga suami meminta lebih banyak uang setelah pernikahan. Seringkali sengketa ini membuat sang istri bunuh diri, atau dibunuh oleh keluarga suaminya sendiri.