Jepang Masih Harus Berjuang untuk Memiliki Militer Sebenarnya

Jepang Masih Harus Berjuang untuk Memiliki Militer Sebenarnya

Setelah 70 tahun, Jepang akhirnya bisa berada di puncak kekuatan militernya sendiri setidaknya itu secara hukum. Bulan Mei 2017 lalu, Perdana Menteri Shinzo Abe menunjukkan keinginannya untuk mengubah Konstitusi pada tahun 2020 guna memasukkan sebuah klausul yang memberikan legal standing kepada Angkatan Bela Diri.  Meski sempat muncul kontroversi tetapi seiring waktu hal itu mulai mereda.

Ditulis pada tahun 1946 oleh Amerika Serikat setelah kekalahan besar Jepang dalam Perang Dunia II, konstitusi secara hukum melarang Jepang melakukan perang dan mendapatkan “potensi perang.” Pasal 9 – sering disebut sebagai klausul perdamaian – menolak perang sebagai hak kedaulatan dan ancaman atau penggunaan kekuatan sebagai sarana untuk menyelesaikan perselisihan internasional.

Jeffrey Hornung,  ilmuwan politik di RAND Corp yang berbasis di  Washington dalam tulisannya di Japan Times Selasa 13 Juni 2017 menyatakan untuk mencapai tujuan ini, artikel tersebut menetapkan bahwa “kekuatan darat, laut, dan udara, serta potensi perang lainnya, tidak akan pernah dipertahankan.”

Terlepas dari artikel tersebut, Jepang kemudian mendirikan pasukan bela diri atau Self Defence Force (SDF) pada tahun 1954, membangunnya menjadi salah satu angkatan bersenjata paling maju di dunia.

Pemerintah Jepang, menurut Hornung, dapat melakukan ini dengan alasan bahwa karena tujuan eksklusif SDF bersifat defensif, termasuk keputusan sadar untuk tidak mendapatkan senjata yang berorientasi melanggar larangan mendapatkan kemampuan yang berpotensi untuk memulai perang.

“Di dalam negeri, SDF bukan militer. Bagi semua orang di luar Jepang, SDF adalah militer. Sehingga SDF sebenarnya adalah  militer kecuali namanya saja yang berbeda, dan inilah mengapa revisi konstitusi Abe diajukan menjadi masuk akal,” tulisnya.

Meskipun tetangga Jepang yang paling dekat terus melihat Jepang melalui lensa kuno sejak awal abad 20, perspektif tersebut tidak sepenuhnya benar.  Sebagai negara yang paling lama melayani demokrasi, kontrol politik militer di Jepang tertanam kuat.

Selain itu, negara ini berdiri sebagai contoh pascaperang tentang bagaimana sebuah negara dapat mengelola “situasi damai” sambil membantu negara-negara berkembang, tidak mengancam atau mengintimidasi mereka.

Dengan pertumbuhan ekonomi dan kedewasaan demokrasi, ada harapan dari masyarakat internasional bahwa Tokyo harus berkontribusi lebih pada urusan internasional. Selama 25 tahun terakhir, ia telah mencari cara untuk memenuhi harapan tersebut. Meski tidak  “berdarah” seperti militer lainnya, SDF telah belajar bagaimana “berkeringat” dalam daftar misi noncombat yang berkembang di luar negeri.

Konstitusi tidak pernah direvisi. Hal ini membuat jengkel orang Jepang konservatif yang merasa tidak nyaman dengan fakta bahwa hukum dasar negara mereka ditulis oleh orang asing.

Sementara berbagai proposal untuk revisi telah diperdebatkan selama bertahun-tahun, proposal pada Pasal 9 selalu menyebabkan perdebatan yang paling sengit. Bagi kebanyakan pendukung revisi, memberikan dasar hukum yang jelas bagi SDF tetap menjadi tujuan utama.

Bagi lawan, ini adalah kebanggaan cita-cita pasifis yang ditetapkan dalam Pasal 9 dan upaya untuk mencegah kembalinya revanchist Jepang tahun 1930an yang mampu melepaskan militernya ke luar negeri.

Revisi yang Abe usulkan disebut sebagai “kaken” yakni  menambahkan sesuatu pada Konstitusi. Usulannya halus, namun secara hukum penting.

Lebih dari 220.000 warga Jepang yang secara sukarela bergabung dengan SDF untuk membela negara mereka dari bahaya dan dikerahkan ke luar negeri pada misi noncombat.

“Sudah saatnya untuk membangun dasar hukum yang eksplisit – berakar pada Konstitusi – untuk keberadaan SDF guna mengakhiri perdebatan tanpa alasan mengenai konstitusionalitas mereka.”

Partai Demokrat Liberal yang berkausa merilis serangkaian draft revisi pada tahun 2012 yang mencakup perubahan yang lebih luas untuk Pasal 9, namun Abe tidak merujuk ini.

Mengandalkan kaken untuk mempertahankan Pasal 9 namun memberikan dasar hukum yang kuat bagi SDF tidak akan melakukan apapun untuk mengubah misinya.  Juga tidak akan meningkatkan kemampuan Jepang untuk berurusan dengan Korea Utara atau China.

Bagian undang-undang usulan Abe pada tahun 2015 telah membuat perubahan penting, meskipun bersifat inkremental, sehingga memungkinkan serangkaian misi yang lebih luas yang dapat dilakukan secara langsung oleh SDF.

SDF hari ini mampu menjalankan hak terbatas untuk membela diri secara kolektif tanpa melanggar Pasal 9. Karena proposal Abe tidak mencakup pelaksanaan hak pertahanan diri atau partisipasi kolektif secara penuh dalam operasi militer yang diberi wewenang oleh PBB. Revisi tidak akan termasuk apa saja yang akan mendorong SDF menuju operasi tipe ofensif.  Artinya, ini tidak mengubah postur defensif eksklusif yang didukung oleh pemerintah Jepang berturut-turut.

Terlepas dari keinginan Abe, masih ada kemungkinan  bahwa dorongan untuk revisi akan gagal. Bahkan jika dia bisa mengumpulkan dua pertiga dukungan parlemen, revisi konstitusi mensyaratkan mayoritas penduduk untuk mendukungnya dalam sebuah referendum nasional.  Sementara jajak pendapat yang dilakukan oleh media  Jepang menunjukkan penolakan untuk revisi.

Baca juga:

https://www.jejaktapak.com/2017/05/31/10-senjata-paling-berbahaya-milik-jepang/