Pengguna dan pengembang platform Scud lainnya adalah Korea Utara. Pyongyang menerima dua Scud-B dari Mesir sekitar tahun 1976 dan 1981. Perusahaan riset rudal negara tersebut mulai bekerja dan pada tahun 1986 dan telah mengembangkan salinan buatan sendiri, Hwasong-5, dengan peningkatan 10 sampai 15 persen dalam kisaran dan muatan.
Persyaratan yang diajukan penguasa Pyongyang bahwa rudal harus bisa menyerang pangalan Amerika di Jepang mengirim ilmuwan roket Korea Utara kembali ke papan gambar, dan pada tahun 1994 mereka telah mengembangkan apa yang kemudian dikenal sebagai Nodong.
Nodong memiliki jangkauan 932 mil, yang cukup untuk menyerang sejauh Okinawa. Nodong bukan rudal yang akurat dengan tingkat kesalahan bisa mencapai radius ,26 mil. Teknologi Nodong diekspor ke Iran untuk menciptakan Shahab-3.
Nodong juga digunakan sebagai dasar rudal balistik jarak menengah Taepodong-1 (tidak lagi berfungsi) dan kombinasi mesin Nodong dan Scud memberi kekuatan pada mesin peluncur ruang angkasa Unha-3.
Beberapa rudal berbasis Scud telah diluncurkan selama perang saudara Yaman yang sedang berlangsung sekarang ini. Rudal tersebut, yang diambil dari persediaan tentara Yaman yang diduga dijual Korea Utara.
Rudal-rudal ini telah diluncurkan pada target yang mencakup ibukota Saudi Riyadh dan juga Mekah. Perkiraan kuat jumlah rudal balistik yang telah dipecat dalam konflik sulit didapat. Satu petunjuk ada pada sebuah pernyataan yang dibuat awal tahun ini oleh Raytheon, produsen rudal Patriot, yang mengklaim bahwa sejak “Hingga Januari 2015, Patriot telah mencegat lebih dari 100 rudal balistik dalam operasi tempur di seluruh dunia.”
Rudal Scud, memang tidak pernah bertempur di era Perang Dingin di mana dia dilahirkan, ironisnya kemudian menjadi ancaman militer utama era pasca-Perang Dingin. Rudal tersebut sejak itu telah menelurkan rudal yang lebih berbahaya. Meski Scud sendiri akhirnya akan mati, warisannya akan terus menghantui dunia selama beberapa dekade yang akan datang.