Korea Utara mengutuk anggaran pertahanan baru Donald Trump yang meningkat dan menuduh Amerika mengejar strategi agresif untuk mendominasi Timur Tengah. Sebuah kritik yang langka di mana Pyongyang menyoroti masalah Timur Tengah.
Sebuah komentar yang diterbitkan surat kabar pemerintah Rodong Sinmun Rabu 4 Oktober 2017 mengatakan bahwa pengumuman Trump tentang anggaran pertahanan senilai US$ 700 miliar untuk tahun fiskal 2018 atau hampir US$ 100 miliar lebih banyak dari tahun sebelumnya, adalah bukti bahwa “Amerika dikuasai dengan megalomania yang mendominasi dunia.”
Media tersebut mengatakan bahwa anggaran besar tersebut, bersamaan dengan pangkalan militer permanen Amerika yang baru di Israel, menjadikan pernyataan Amerika Serikat untuk menjaga perdamaian adalah omong kosong. “Ini adalah tanda dari ambisi tak terkendali Amerika untuk mendominasi dunia,” tulis Rodong Sinmun.
“Tidak masuk akal bagi pemimpin aggressor semacam itu untuk membicarakan perdamaian internasional,” tambahnya.
Meski media pemerintah Korea Utara secara reguler selau mengecam Amerika, tetapi selama ini hanya berkisar tentang konflik mereka sendiri di Semenanjung Korea. Tulisan terbaru di Rodong Sinmun ini menjadi hal yang langka ketika Pyongyang mengkritik apa yang dilakukan Amerika di negara lain, terutama kebijakan Washington di Timur Tenga.
Korea Utara telah lama menjadi pendukung kekuatan Arab yang menentang Israel. Pemimpin pertama Korea Utara, Kim Il-sung, mengirim pilot dan personel lainnya untuk mendukung angkatan bersenjata Mesir yang bentrok dengan Israel, yang oleh Korea Utara dianggap sebagai “negara kekaisaran” yang didukung Amerika selama Perang Yom Kippur tahun 1973.
Sepanjang tahun 1980an, senjata tersebut memasok senjata ke negara-negara Arab sayap kiri dan kelompok militan pro-Palestina dan pada tahun 1988 mengumumkan dukungannya untuk sebuah negara Palestina merdeka, terlepas dari klaim teritorial Israel.
Amerika juga menuduh Korea Utara membantu Iran dan Suriah mengembangkan program nuklir mereka, sesuatu yang disangkal kedua negara. Dalam pidato tahun 2002, Presiden George W. Bush memasukkan Korea Utara bersama dengan Iran dan Presiden Irak Saddam Hussein sebagai bagian dari apa yang disebut “Axis of Evil,” atau segita setan. Sebuah label yang kemudian diperluas mencakup Suriah, Kuba dan Muammar Gaddafi dari Libya.
Sejak Kim Jong Un mengambil alih kekuasaan setelah kematian ayahnya di tahun 2011, pemimpin muda Korea Utara telah lebih fokus pada peningkatan ekonomi dan militer negara tersebut. Tahun ini saja, Korea Utara menguji rudal balistik antarbenua pertama dan melakukan uji senjata nuklir keenam.
Namun, negara yang terkenal tertutup itu telah memposisikan dirinya secara ideologis dengan “Axis of Resistance” modern, yang mencakup Suriah, Iran dan gerakan Syiah Iran yang didukung Syiah Hizbullah. Ketiganya bersatu dalam oposisi mereka terhadap kebijakan luar negeri Amerika dan Israel.
Pada 7 April 2017 Amerika meluncurkan serangan rudal jelajah ke pangkalan udara Suriah setelah menuduh Assad memerintahkan serangan senjata kimia terhadap warga sipil beberapa hari sebelumnya, sesuatu yang dia dan sekutu Rusianya tolak.
Beberapa hari kemudian, papan reklame muncul di Lebanon selatan, pusat dukungan untuk Hizbullah dan Assad yang menampilkan foto Kim dengan julukan “Abu Ali Kim, The Vanquisher of Enemies.” Pyongyang mengatakan bahwa serangan terhadap Suriah telah memvalidasi keputusannya untuk mengembangkan senjata nuklir sebagai pencegah negara lain seenaknya melakukan serangan.