Oleh: Amiruddin Zuhri
Menghadapi senjata dengan teknologi siluman pasti akan sangat sulit, tetapi sebenarnya yang paling sulit dan paling berbahaya adalah menghadapi perang siluman itu sendiri. Perang ini terbukti jauh lebih efektif untuk melemahkan bahkan menghancurkan sebuah negara.
Perang siluman atau biasa dikenal sebagai proxy war. Sebuah strategi perang di mana aktor utamanya tidak turun langsung tetapi menggunakan unsur yang ada dalam sebuah negara untuk saling dibenturkan hingga kemudian terpecah belah dan bahkan saling bertempur. Dalam perang konvensional, secanggih apapun senjata lawan, tetapi musuhnya jelas. Sementara dalam proxy war, untuk menentukan siapa lawan dan siapa kawan sangat sulit, karena semua adalah sama-sama rakyat.
Secara kasat mata perang semacam ini telah terjadi di banyak tempat. Jika kita melihat lebih dalam, apa yang terjadi di banyak negara di Timur Tengah adalah hasil dari proxy war yang dikenal dengan Arab Spring, atau musim semi di Arab. Gerakan ini telah menyapu Irak, Libya, Yaman, Suriah, Mesir, Tunisia hingga nyaris runtuh. Hasilnya, Sadam Husein terjungkal yang menghasilkan Irak menjadi negara yang sangat labil, Moamar Gaddafi tewas yang meninggalkan Libya menjadi negara gagal, Suriah menjadi neraka, Yaman porak poranda, Mesir tidak pernah stabil dan seterusnya. Itulah kekejaman proxy war.
Proxy war harus diakui juga telah secara nyata ada di Indonesia. Cukup kita tulis kata ‘TNI proxy war’ di mesin pencari maka akan bertebaran pernyataan petinggi TNI yang berulang kali mengingatkan bahaya ini. Ucapan seorang petinggi TNI, termasuk panglima, tentang proxy war jelas bukan sebuah lelucon. Mana ada militer melucu? Jika ada sebagian pihak mengatakan bahwa pernyataan TNI itu terlalu mengada-ada dan hanya bentuk paranoid dari militer, juga bukan hal yang bijaksana. Karena proxy war telah merambah di berbagai penjuru bumi dan terbukti efektif dalam menghancurkan sebuah negara.
Proxy war yang dilakukan di Indonesia meski tidak mengadopsi penuh strategi yang dilakukan di negara-negara Timur Tengah, tetapi sangat mirip yakni dengan membenturkan berbagai kelompok yang ada dengan berbagai isu. Dari narkoba, hak asasi manusia, gerakan Lesbi Gay Biseksual dan Transgender (LGBT) dan isu-isu lain.
Berbagai isu akan terus bergulir. Mereka akan terus berusaha memancing emosi anak bangsa. Sampai kapan? Sampai terjadi saling bunuh. Dan pada saat itu, situasi akan semakin sulit diatasi serta dicari siapa yang benar dan siapa yang salah. Kekacauan di Suriah adalah contoh betapa sulitnya untuk menyelesaikan perang karena proxy war
Sayangnya apa yang dikatakan oleh petinggi TNI kerap dituding sebagai upaya militer untuk melakukan tindakan represif. Padahal hampir semua negara telah mewaspadai bahaya ini. Ada juga yang mengatakan proxy war adalah isu tanpa bukti. Padahal jika ada bukti, proxy war berarti sudah dimasukkan dalam status gagal dan dibatalkan. Tidak mungkin ada bukti proxy war. Ini adalah perang siluman.
Indonesia Rentan Proxy War
Marilah secara lapang dada mengakui bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat rentan dengan perang siluman ini. Bahkan sejarah mencatat sebelum lahir menjadi Indonesia, bangsa ini pernah diterpa proxy war yang akhirnya menginsipirasi penggunaan strategi ini di banyak negara.
Penjajah Belanda pernah melahirkan strategi yang disusun Snouck Hurgronje yang terbukti efektif dalam menghentikan Perang Paderi dengan cara memecah belah dari dalam. Strategi Snouck Hurgronje ini kemudian melahirkan banyak keturunan yang secara efektif menghancurkan banyak negara di Timur Tengah.
Salah satu penyebab Indonesia rentan menjadi sasaran perang semacam ini karena negara ini memiliki wilayah yang sangat kaya dalam hal sumber daya alam yang akan menjadi incaran banyak negara lain. Mereka yang ingin menguasai kekayaan alam Indonesia akan berusaha melemahkan negara ini sehingga bisa dengan mudah dipengaruhi dan dikuasai.
Alasan kedua, Indonesia adalah negara dengan begitu banyak suku dan golongan. Di satu sisi ini adalah potensi besar, tetapi jika tidak dirawat dan dijaga dengan baik, perbedaan akan dengan mudah digesek untuk memunculkan konflik horizontal yang berbahaya. Mari juga mengakui bahwa akhir-akhir ini konflik antar-golongan semakin memanas dengan ada gerakan yang berusaha membenturkan berbagai kelompok termasuk Islam yang sering dituduh banyak pihak sebagai kelompok tidak pancasilais.
Padahal sejarah mencatat Islam menjadi kelompok paling penting dalam lahirnya Indonesia dan Pancasila. Tetapi isu terus digulirkan hingga situasi semakin memanas dan bisa menjadi bahaya serius.
Alasan ketiga, dan ini paling berbahaya, adalah mulai lunturnya nasionalisme dan jati diri bangsa. Hal ini secara nyata telah terjadi di negara kita. Hampir semua orang Indonesia percaya negara ini berasal dari akar budaya maju dan sejarah mengagumkan. Tetapi, muncul pertanyaan kenapa kita masih jauh tertinggal dengan negara lain dalam banyak hal?
Memang tidak bisa dipungkiri, Indonesia telah mencapai banyak kemajuan, tetapi dibandingkan dengan negara-negara lain yang memiliki kemiripan sejarah, harus mau jujur mengakui kita jauh tertinggal.
Bukannya terlalu memuji negara lain tetapi mari secara jujur melihat India. Negara yang merdekanya setelah Indonesia, kini telah menjadi kekuatan besar dunia. Mereka telah mampu membangun kapal induk, kapal selam, jet tempur dan teknologi lain. Bahkan India menjadi satu dari segelintir negara yang mampu menempatkan wahana angkasa luarnya di orbit Mars.
Mari melihat China, negara yang pernah hina dan miskin karena perang kini mampu membuat Amerika Serikat sangat segan. Atau, mari lihat Vietnam yang pada tahun 1970an masih dilanda perang, kini menjadi macan Asia. Indonesia bahkan secara rutin mengimpor beras dari mereka. Tim sepakbola kita pun sulit sekali untuk menang melawan mereka.
Kenapa mereka bisa begitu hebat? Karena mereka tidak melupakan asal usul dan mewarisi tradisi bahkan pada hal-hal yang kecil. India memegang teguh ajaran Gandhi. China terus mewarisi semangat para dinasti besar serta ajaran Mao Tse Tung, Vietnam bisa bangkit dengan cepat karena memegang semangat Ho Chi Min. Jepang bangun dari kehancuran akibat bom nuklir karena jiwa mereka diisi semangat Shogun dan Samurai. Negara-negara ini sangat menghargai masa lalunya, bahkan dalam hal yang kecil seperti cara berpakaian.
Sekarang mari kita lihat kita. Siapa yang kita warisi sebenarnya? Jika kita mewarisi Syailendra dan Sanjaya, maka seharusnya kita mampu membuat apa saja, karena ribuan tahun lalu leluhur bangsa ini sudah bisa membuat mahakarya Borobudur dan Prambanan yang luar biasa.
Jika kita adalah anak turun Tjut Nyak Dien, Diponegoro, Patimura, Sultan Agung, seharusnya kita tidak pernah takut dan tunduk kepada kekuatan asing. Seandainya kita penerus Gadjah Mada atau Jenderal Sudirman, maka seharusnya kita memiliki pemimpin yang ikhlas dan anti-korupsi. Seandainya kita pewaris Sriwijaya dan Majapahit tentu kita akan sangat disegani negara lain.
Faktanya, sekali lagi mari kita mengakui dengan lapang dada, bahkan negara agraris dengan tanah yang sangat luas dan subur ini beras, kacang, buah-buahan, daging dan berbagai bahan makanan saja impor. Negara dengan garis pantai yang luar biasa panjangnya, garam saja masih jadi masalah dan harus impor. Saat nenek moyangnya mampu membuat karya besar di masa lalu, sekarang dari cangkul hingga pesawat kita impor.
Anak-anak muda begitu resah ketika artis Korea mengubah gaya rambutnya dan bergegas menirunya, sementara kesenian dan budaya sendiri secara pelan terpinggirkan dan mati. Faktanya, korupsi sebagai cerminan ketidakikhlasan pemimpin membela rakyatnya terus merajalela. Inikah keturunan dari bangsa besar?
Segala persoalan itu sebenarnya bersumber pada hilangnya jati diri yang menjadikan kita seolah menjadi bangsa yatim piatu karena tidak memahami asal-usul kita sesungguhnya. Akhirnya kita berkembang menjadi masyarakat peniru yang hebat dan tidak mandiri. Kesadaran kita berasal dari nenek moyang hebat baru sebatas kesadaran.
Kita tahu ada Syailendra hingga Bung Karno, tetapi tidak pernah tahu siapa Syailendra dan Soekarno. Kita tahu kalimat ‘Bhineka Tunggal Ika’ berasal dari Kitab Sutasoma karya Empu Tantular, tetapi tahukah kita apa isi Kitab Sutasoma dan siapa Empu Tantular. Pahamkah kita apa yang sesungguhnya ada di pikiran Gadjah Mada ketika mengucap Sumpah Palapa hingga taktik gemilangnya untuk mempersatukan Nusantara? Jawabannya hampir pasti tidak.
Kita tidak pernah memperkenalkan semua itu kepada orang Indonesia sejak kecil. Dunia pendidikan tidak pernah mengupas kitab-kitab para pujangga hebat Nusantara di ruang kelas, dan memilih buku-buku pemikiran orang asing sebagai bacaan wajib. Tak ada kajian mendalam tentang pemikiran Ronggowarsita, Empu Tantular, Empu Panuluh, Empu Prapanca hingga Sukarno, Hatta, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyhari dan yang lainnya selayaknya memahami pemikiran Hegel, Adam Smit, hingga Karl Marx. Tidak pernah menggali secara menyeluruh kitab Arjuna Wiwaha, Pustaka Raja Purwa, Negarakertagama, Serat Kalatida, dan seterusnya.
Sekadar tahu nama kecil Diponegoro, kapan perang berlangsung, kapan wafat dan di mana, bukan berarti kita telah memahami pikiran Diponegoro. Sekadar tahu kapan Borobudur dan Prambanan dibangun bukan berarti kita telah mewarisi kehebatan Syailendra dan Sanjaya. Setahun sekali berbaju daerah pada 21 April bukan berarti kita telah memahami pemikiran Kartini.
Memasang gambar Tjut Nyak Dien, Tuanku Imam Bonjol, Patimura, Sultan Hasanuddin, di ruang kelas tidak lantas kita menjadi sehebat mereka. Sekadar menghapalkan tiga kalimat Sumpah Pemuda bukan lantas kita bisa disebut memahami persatuan dan persatuan.
Sejak kecil kita telah disuguhi dengan berbagai budaya dan nilai orang lain. Dunia pendidikan lebih suka mengupas pemikiran orang asing. Televisi lebih suka memperlihatkan budaya negara lain daripada budaya sendiri. Hal itu dilakukan terus menerus selama berpuluh-puluh tahun hingga akhirnya orang Indonesia tidak lagi mengenal dirinya sendiri dan lebih mengagumi budaya lain. Padahal negara lain justru mengagumi pemikiran dan peradaban masa lalu bangsa ini.
Kehilangan jati diri bukanlah hal yang sepele, bahkan sangat serius, karena hal itu akan menjadikan kita tumbuh menjadi bangsa yang hanya bisa peniru hingga sulit untuk menjadi mandiri. Karena tidak mandiri maka akan sangat mudah dipengaruhi. Apa yang terjadi di negara lain, akan berpengaruh pada kita. Dan ini menjadi pintu terbuka untuk masuknya perang siluman.
- Amiruddin Zuhri pendiri JejakTapak.com pernah menjadi wartawan di Republika, Radio Trijaya, Media Indonesia, Harian Jogja.