Agustus 2016 lalu, sebuah pesan rahasia dikirimkan dari Washington ke Kairo untuk memperingatkan tentang sebuah kapal misterius yang bergerak ke Terusan Suez.
Pesan itu menyebutkan kapal kargo besar bernama Jie Shun itu membawa bendera Kamboja namun sebenarnya telah berlayar dari Korea Utara, dengan awak Korea Utara dan sebuah kargo yang tidak diketahui serta diselimuti oleh terpal tebal.
Berbekal informasi tersebut, agen pabean menunggu kapal memasuki perairan Mesir. Mereka kemudian mengepung kapal tersebut dan menemukan sebuah ruang yang tersembunyi di bawah tong sampah bijih besi. Gudang itu berisi lebih dari 30.000 roket peluncur granat atau rocket-propelled grenades (RPG).
PBB kemudian menyimpulkan kejadian ini sebagai penyitaan amunisi terbesar dalam sejarah sanksi terhadap Korea Utara.
Sebagaimana dilaporkan Washington Post Minggu 1 Oktober 2017 bahkan dengan standar Korea Utara, Jie Shun adalah kapal yang sangat memprihatinkan. Penyidik PBB melaporkan kapal penuh dengan karat, kerangka baja keropos di hampir semua bagian, dan perlengkapannya berlapis debu batubara yang digunakan untuk bahan bakar mesin.
Selain itu sistem desalinasi tidak lagi bekerja hal ini dilihat dari peti botol air yang ditemukan petugas di sekitar kompartemen kru. Apakah senjatanya ditemukan atau tidak, pelayaran kapal sejauh 8.000 mil pada musim panas yang lalu mungkin ditakdirkan untuk menjadi yang terakhir.
“Kapal itu dalam kondisi mengerikan,” kata seorang diplomat Barat yang mengetahui laporan rahasia dari pemeriksaan resmi PBB. “Ini adalah pelayaran satu arah, dan kapal itu mungkin ditujukan untuk kembali pulang setelahnya.”
Sesuai dengan pesanan atau tidak, kapal tersebut berlayar dari kota pelabuhan Haeju, Korea Utara, pada tanggal 23 Juli 2016, dengan 23 awak Korea Utara termasuk seorang kapten dan seorang pejabat politik untuk memastikan disiplin Partai Komunis di kapal.
Meskipun milik Korea Utara, kapal tersebut telah terdaftar di Kamboja dan mengibarkan bendera Kamboja serta mengklaim Phnom Penh sebagai pelabuhan asalnya.
Dengan menggunakan taktik disebut, memungkinkan kapal-kapal Korea Utara menghindari perhatian yang tidak diinginkan di perairan internasional. Begitu juga praktik mematikan transponder kapal secara rutin.
“Sistem identifikasi otomatis kapal tersebut tidak digunakan dalam sebagian besar pelayaran,” kata laporan tersebut, “kecuali di jalur laut yang sibuk dimana perilaku semacam itu dapat diperhatikan dan dinilai sebagai ancaman keselamatan.”
Meski begitu, barang pengaman sepanjang 300 kaki yang cukup besar untuk menampung 2.400 mobil penumpang tidak mudah disembunyikan. Badan intelijen Amerika melacak kapal tersebut saat meninggalkan Korea Utara, dan kemudian memantaunya saat bergerak di sekitar Semenanjung Malaya dan berlayar ke barat melintasi Laut Arab dan Teluk Aden.
Kapal tersebut menuju ke utara melalui Laut Merah pada awal Agustus ketika peringatan tersebut dikirimkan ke pihak berwenang Mesir mengenai sebuah kapal Korea Utara yang mencurigakan yang tampaknya menuju Terusan Suez.
“Mereka diberitahu oleh pihak kami,” kata mantan pejabat senior Amerika yang memiliki pengetahuan langsung tentang kejadian tersebut. “Saya mengargai mereka [Mesir] karena menganggapnya serius.”
Jie Shun belum sampai di terusan saat sebuah kapal angkatan laut Mesir memerintahkan awak kapal untuk berhenti guna dilakukan inspeksi. Awalnya, kargo tampaknya sesuai dengan deskripsi manifestasinya yang menyebutkan kapal itu membawa 2.300 ton batu kuning yang disebut limonit, sejenis bijih besi. Tapi ketika digali lebih ke bawah para inspektur menemukan tumpukan peti kayu.
Ditanya tentang kotak-kotak tersebut, kru tersebut memberikan daftar bill of lading sebagai “bagian perakitan pompa bawah air.” Tetapi setelah yang terakhir dari 79 peti tersebut diturunkan dan dibuka di pelabuhan al-Adabiyah Mesir, diketahui ini isinya adalah senjata.
Senjata yang dikirim terdiri dari lebih dari 24.000 RPG dan komponen untuk 6.000 lebih RPG. Semua adalah salinan hulu ledak roket Korea Utara yang dikenal sebagai PG-7, varian dari amunisi Soviet yang pertama kali dibangun pada tahun 1960an.