Denmark mengecam Korea Utara karena melakukan uji coba nuklirnya dalam sebuah pertemuan dengan duta besar Korea Utara di negara tersebut. Tetapi baru seminggu setelah mereka mengecam, sebuah film dokumenter yang dibuat Danish Radio (Radio Denmark) memukul balik wajah mereka.
Laporan tersebut mengungkapkan bahwa Kopenhagen mungkin secara tidak langsung justru telah membiayai ambisi nuklir Pyongyang.
Dalam film dokumenter “The Warship’s Secret” yang disiarkan Selasa 26 September 2017 terungkap, kapal perang paling canggih Denmark Lauge Koch dilaporkan dibangun di Polandia dengan menggunakan pekerja paksa Korea Utara. Tuduhan tersebut diperkuat oleh kontrak, tanda terima dan saksi mata.
The Lauge Koch, yang menelan biaya lebih dari US$ 80 juta dan akan diresmikan pada bulan Desember. Kapal tersebut sebagian dioutsourcing-kan oleh galgangan kapal Denmark Karstsensens Skibsværft ke Crist, Polandia, yang ternyata menyewa sebuah subkontraktor Polandia yang menggunakan pekerja paksa Korea Utara yang dipekerjakan melalui perusahaan milik pemerintah Korea Utara Rungrado yang sekarang terkena sanksi atas dugaan perdagangan teknologi rudal.
Sejauh ini, tidak jelas berapa banyak uang Denmark yang berakhir di Korea Utara. Namun, menurut data PBB, Pyongyang menghasilkan hingga US$ 2 miliar melalui pekerja asingnya. Sejak Kim Jong-un naik ke tampuk kekuasaan, jumlah pekerja Korea Utara di luar negeri telah meningkat dan sekarang diperkirakan sekitar 100.000 orang.
“Pekerja Korea Utara di luar negeri merupakan sumber penting mata uang, yang digunakan untuk mengembangkan program nuklir dan rudal Korea Utara,” kata Jai-chul Choi, Duta Besar Korea Selatan untuk Denmark, dalam film dokumenter itu.
“Jika dana wajib pajak Denmark digunakan untuk program nuklir dan rudal, itu akan menjadi bencana besar,” tambahnya.
Beberapa partai Denmark, termasuk Social Democrats, the Red-Green Alliance dan the Social Liberal Party, meminta penjelasan dari Menteri Pertahanan Claus Hjort Frederiksen tentang laporan tersebut.
“Kita perlu sampai ke dasar dari ini, terutama untuk mencegahnya terjadi lagi di masa depan,” kata juru bicara pertahanan Social Democrats Henrik Dam Kristensen kepada Danish Radio, yang menyebut insiden tersebut sebagi “mengerikan.”
Juru bicara the Red-Green Alliance Nikolaj Villumsen menyebut kenyataan ini “tidak dapat diterima” dan sama sekali tidak dapat dipahami bagaimana hal itu bisa terjadi.
“Ini adalah kasus yang memalukan bagi pihak berwenang Polandia, tapi ini juga merupakan kasus yang memalukan bagi Pertahanan Denmark,” kata juru bicara Social Liberal Party, Martin Lidegaard.
Angkatan Bersenjata dan Karstsensens Skibsværft awalnya menolak warga Korea Utara yang terlibat dalam pembangunan Lauge Koch. Namun, Brigadir Jenderal Anders Mærkedahl dari Dewan Pertahanan dan Dewan Pembelian Senjata mengakui bahwa tidak mungkin untuk sepenuhnya mengesampingkan partisipasi mereka.
Dalam film dokumenter tersebut, sejumlah pekerja galangan kapal Polandia mengkonfirmasi bahwa warga Korea Utara telah bekerja sebagai tukang las di kapal Denmark.
“Ini benar-benar keterlaluan jika benar-benar benar bahwa pekerja paksa Korea Utara telah digunakan di negara Uni Eropa seperti Polandia.Tapi saya merasa sulit untuk melihat apa yang bisa kita lakukan untuk menyelidiki tuduhan tentang pembangunan Koch Lauge, beberapa tahun setelah kapal selesai dibangun,” kata Menteri Pertahanan Claus Hjort Frederiksen menulis dalam sebuah e-mail ke Danish Radio.
Menurut dokumenter tersebut, pekerja asing Korea Utara kondisinya seperti budak, kehilangan paspor dan kebebasan mereka, hidup dalam pengawasan konstan dan bekerja sampai 20 jam sehari. Mereka hanya mendapatkan sebagian kecil upah. Beberapa LSM sebelumnya menggambarkan orang Korea Utara sebagai “budak modern”.
“Selama bertahun-tahun, Pyongyang telah mengeksploitasi pekerja Korea Utara di Polandia dengan restu dari otoritas politik di Warsawa, yang telah dengan murah hati memberikan visa kerja sambil menutup mata terhadap kondisi tidak manusiawi yang dialami oleh para budak modern ini,” kata Willy Fautré, Direktur Human Rights Without Frontiers (HRWF) awal tahun ini.