Tijitibeh, Belum Gunakan Nuklir, 20.000 Orang Mati Perhari Jika Perang Korea Pecah
AP 

Tijitibeh, Belum Gunakan Nuklir, 20.000 Orang Mati Perhari Jika Perang Korea Pecah

Tidak diragukan lagi, sebuah pengulangan Perang Korea di abad ke-21 akan lebih cepat daripada Perang Korea 1950-ke-1953, sebuah perburuan melalui gunung-gunung yang tertutup salju yang menewaskan hampir 2 juta orang dan meninggalkan garis demarkasi antara Korea Utara dan Korea Selatan.

Namun, terlepas dari senjata berteknologi tinggi  yang digunakan dalam peperangan modern, Perang Korea yang baru bisa menjadi sangat rumit dan lebih berantakan dibanding sebelumnya.

“Perang hari ini pasti akan melibatkan banyak teknologi, sistem yang lebih tepat dan mematikan daripada perang terakhir, tapi Anda harus sangat berhati-hati atau Anda bisa bertarung di pegunungan yang sama persis,” kata Cordesman.

Salah satu faktor tak terduga bisa terjadi dalam sejarah Perang Korea  baru adalah apakah China akan memasuki perang untuk menyelamatkan sekutu komunisnya itu.

The Global Times, sebuah surat kabar pemerintah China, bulan lalu menyebutkan bahwa China tidak akan membantu Korea Utara jika Amerika membalas serangan rudal Korea Utara. Namun, ia juga memperingatkan bahwa jika Amerika dan Korea Selatan melakukan serangan dan mencoba untuk menggulingkan rezim Korea Utara dan mengubah pola politik semenanjung Korea, China akan mencegah mereka melakukannya.

Sebagian besar ahli strategi militer tidak mengharapkan pemerintah China di bawah Xi Jinping akan mengirim pasukannya menyeberangi Sungai Yalu seperti yang dilakukan Mao Tse-tung pada tahun 1950. Namun Beijing dapat melakukan serangan udara untuk mendukung pemerintah di Pyongyang, sama seperti Rusia telah datang untuk membantu Assad Suriah. China mungkin juga melakukan intervensi untuk meminta kesepakatan damai yang akan membuat Kim tetap berkuasa.

Akibat dari sebuah Perang Korea yang baru, bahkan perang konvensional, bisa sama berantakannya dengan konflik itu sendiri.

Penghapusan Kim bisa meninggalkan negara dengan kekosongan kekuasaan dan tidak ada yang jelas-jelas siapa yang bertanggung jawab.

“Anda mungkin memiliki kompetisi legitimasi di Korea Utara di mana tindakan yang berbeda didukung oleh berbagai pihak, ” kata Scott Snyder dari Council on Foreign Relations dikutip Los Angeles Times.

Meskipun Korea Utara memiliki populasi etnis yang homogen – tidak ada faksi etnik yang bersaing bersaing untuk mendominasi – mereka tetap sering terkoyak oleh perpecahan regional dan dapat dengan mudah hancur seperti  Irak dan Libya setelah jatuhnya diktator.

“Saya tidak akan mengesampingkan kemungkinan bahwa masa depan Korea Utara bisa terlihat sangat mirip dengan Suriah,” kata Snyder. “Korea Utara bisa menjadi rawa yang memakan banyak sumber daya bertahun-tahun.”