Pemerintah Indonesia melalui Menko Polhukam Wiranto menyatakan akan memperketat persyaratan pembelian 11 jet tempur Su-35 dari Rusia. Salah satunya adalah menuntut transfer teknologi serta meminta Rusia untuk membangun pabrik suku cadang di Indonesia. Bahkan menginginkan Indonesia akan menjadi pusat penjualan atau setidaknya perawatan jet tempur Sukhoi di Asia.
Permintaan untuk melakukan transfter of technology (ToT) adalah hal yang wajar. Kita harus menghargai upaya pemerintah tersebut. Hampir semua negara pembeli senjata akan melakukan apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia tersebut. Persoalan seberapa besar hasilnya, akan sangat tergantung banyak faktor.
Sebenarnya, setiap pembelian senjata selalu disertai ToT. Tidak mungkin tanpa hal itu. Tetapi memang ada batas-batas tertentu. Ketika sebuah negara membeli jet tempur misalnya, pasti dia akan mendapatkan pelatihan untuk setidaknya melakukan perawatan sehari-hari pesawat. Apakah itu ToT? Jelas iya. Jadi ketika ada produsen senjata mengatakan “kami siap melakukan transfer teknologi” maka jangan langsung menganggap bahwa mereka siap untuk memberikan segala-galanya. Senjata terdiri dari ribuan sistem yang saling terkait dan tidak mungkin semua sistem itu diberikan.
Besar kecilnya ToT juga dipengaruhi banyak faktor bisa dari jumlah pembelian, sifat teknologi, geopolitik dan sebagainya.
Apakah membeli senjata dalam jumlah besar menjamin ToT penuh? Tidak juga. Contoh jelas terlihat pada kasus Rafale India. Pada tahun 2012 India telah memilih Rafale untuk kesepakatan pengadaan 126 jet tempur tersebut. Rencana awal 18 jet dibeli dalam bentuk jadi dan 108 diproduksi di India. Tetapi pada akhirnya Dassault tidak mau jika produksi harus dilakukan di India. Padahal jumlahnya cukup besar. Setelah mengalami benturan sana-sini India akhirnya menyerah. Tetapi mereka akhirnya hanya membeli 36 jet tempur tentu tanpa transfer teknologi seperti yang diharapkan.

Kenapa bisa seperti itu? Kemungkinan besar karena sampai saat ini Dassault belum mampu membangun jet tempur yang melebih Rafale. Pesawat itu masih menjadi tulang punggung negara tersebut sehingga bagaimanapun mereka harus menjaga keunggulan negaranya atas negara lain. Begitu teknologi penting dilepas, maka banyak rahasia yang terbuka yang akhirnya akan memungkinkan negara lain mengeksplore kelemanan dari senjata tersebut.
India juga gagal untuk bisa mendapatkan transfer teknologi untuk membangun sendiri 18 pesawat amfibi US-2 dari Jepang. Jumlah yang cukup lumayan sebenarnya. Jepang masih menjaga ketat rahasia ini bahkan mau menjual pesawat dalam bentuk jadi dengan diskon besar. Hanya saja India menolak.
Tetapi ada juga yang hanya membeli dalam jumlah sedikit mendapat transfer teknologi cukup besar. Dan itu dialami Indonesia yang membeli tiga kapal selam diesel listrik Kelas Chang Bogo dari Korea Selatan. Dalam kesepakatan yang dicapai pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tersebut satu dari tiga kapal selam itu akan dibangun di Indonesia, meski kemungkinan besar hanya dalam hal assembling. Artinya semua bagian dibangun di Korea Selatan dan dirangkai di Indonesia.
Kenapa Korea mau melakukan transfer teknologi besar meski hanya membeli tiga unit? Karena negara tersebut telah mampu membangun kapal selam yang lebih canggih lagi yang dikenal sebagai KSS-2 atau Chang Bogo II. Setidaknya Angkatan Laut Korea Selatan telah mendapatkan sembilan kapal selam yang dibangun Hyundai Heavy Industries (HHI) tersebut. Tidak masalah negara lain bisa membangun, toh dia telah memiliki kapal lebih canggih yang pasti menutup sejumlah kelemahan dari kapal selam sebelumnya.
Tetapi Indonesia juga membeli senjata lain tanpa transfer teknologi. Pembelian jet tempur T-50 Golden Eagle dari Korea Selatan, Super Tucano dari Brazil, hingga tank Leopard tanpa transfer teknologi besar.