Ketika Presiden Donald Trump mengunjungi markas CIA pada minggu-minggu pertama setelah dilantik jadi presiden Amerika, dia berkeliling ke ruang dimana badan intelijen itu melakukan serangan drone terhadap tersangka teroris.
Terkesan dengan apa yang dilihatnya, Trump kemudian menyampaikan kepada Direktur CIA Mike Pompeo dan perwira agensi yang berada di tempat itu bahwa dia ingin mereka mengambil sikap lebih agresif.
Pejabat dan mantan pejabat Amerika Serikat kepada NBC News Selasa 19 September 2017 mengatakan setelah itu CIA mulai melakukan serangan drone ke wilayah yang pada masa pemerintahan Obama dilarang, termasuk Suriah, di mana militer telah mengambil keputusan untuk menargetkan para pemimpin militan.
Gedung Putih memberi wewenang kepada pejabat CIA untuk memutuskan apakah Amerika dapat menarik pelatuk di berbagai tempat di seluruh dunia, termasuk di Yaman.
Kini, pemerintahan Trump sedang mempertimbangkan perubahan kebijakan tambahan yang akan memperluas kewenangan CIA untuk melakukan serangan drone ke sejumlah negara, baik di dalam maupun di luar zona perang.
Langkah tersebut akan membalikkan upaya bertahun-tahun Presiden Barack Obama untuk mengurangi peran CIA dalam melakukan pembunuhan terhadap orang yang menjadi target dan mengalihkan tanggung jawab itu kepada militer. Hal ini juga bisa berarti akan lebih banyak korban sipil dalam serangan pesawat tak berawak CIA.
NBC News berbicara kepada para pejabat di badan intelijen, Pentagon, Kongres dan Gedung Putih yang semuanya meminta tidak disebutkan namanya membenarkan hal itu.
Pada puncak aktivitas mematikannya di tahun 2010 selama pemerintahan Obama, CIA melakukan dua kali serangan drone setiap minggunya di Pakistan. Beberapa perwira saat ini dan mantan perwira berpendapat bahwa hal itu telah mengubah CIA dari badan mata-mata utama Amerika menjadi “mesin pembunuh”. Hal ini menyebabkan penurunan dalam misi spionase tradisional melawan musuh-musuh seperti Rusia dan China. Lingkungan yang berubah-ubah, dan peraturan baru Obama, kemudian menyebabkan penurunan tajam dalam laju serangan CIA dalam beberapa tahun terakhir.
Seorang pejabat senior Amerika Serikat kepada NBC News mengatakan Pompeo telah mendorong lebih banyak kebebasan bertindak. Dia ingin Trump memberi wewenang kepada agen mata-mata untuk menyerang target di Afghanistan, yang telah lama menjadi wilayah militer. The New York Times sebelumnya juga melaporkan hal ini.
Gedung Putih juga sedang menyusun sebuah kebijakan baru mengenai operasi kontraterorisme di luar zona perang yang akan menggantikan apa yang disebut buku panduan drone pemerintah Obama di mana keputusan untuk menyerang harus diambil oleh presiden.
Buku petunjuk serangan drone, yang dikenal sebagai Pedoman Kebijakan Presiden, mencakup ketentuan bahwa tidak ada serangan yang boleh dimintakan persettujuan kecuali analis menentukan bahwa ada kepastian tidak ada warga sipil yang menjadi korban. Dan itu termasuk ketentuan yang melarang penambahan tahanan baru ke penjara Amerika di Teluk Guantanamo, Kuba.
“Pemerintah Trump sedang mempertimbangkan untuk menghapus kedua pembatasan tersebut,” kata pejabat yang terlibat dalam perencanaan tersebut kepada NBC News.
Perkembangan ini dinilai akan mengancam hak asasi manusia karena CIA kurang bertanggung jawab daripada militer.
“Hal terakhir yang pasti dilakukan Amerika saat ini adalah memperluas program pembunuhan rahasia global,” kata Zeke Johnson, Direktur Senior Program Amnesty International USA. “Dengan pengakuannya sendiri, penggunaan drone pemerintah Amerika berarti kematian warga sipil dan tidak ada pertanggungjawaban yang memadai.”
Pejabat Amerika yang menyukai perubahan tersebut menunjukkan bahwa kampanye pengeboman konvensional militer di Irak dan Suriah tampaknya telah membunuh lebih banyak warga sipil daripada menggunakan drone.
Tapi perbandingan semacam itu sulit dilakukan. Karena serangan drone CIA selalu dilakukan rahasia dan pemerintah Amerika . tidak akan secara resmi mengkonfirmasinya sehingga tidak ada cara bagi orang luar untuk mengukur frekuensi atau keefektifannya.
Baca juga: