Itu bukan akhir dari cerita Bf 110. Di Afrika Utara dan Rusia, pesawat serangan darat itu masih berguna (seperti yang dilakukan pesawat tempur berat Inggris seperti Bristol Beaufighter).
Dilengkapi dengan radar udara, Bf 110 menemukan kehidupan sebagai pesawat tempur malam yang mematikan untuk mem buru pembom RAF Lancaster di langit gelap di atas Jerman. Berbekal meriam ekstra dan roket udara ke udara terarah, Bf 110 juga menjadi momok bagi pembom B-17 dan B-24 Amerika. Tapi sebagai pesawat tempur superioritas udara, Bf 110 jelas tidak lagi mampu.
Pesan yang tegas disampaikan pada tahun 1944 oleh P-51 Mustang AS, sebuah pesawat bermesin tunggal, yang bisa terbang 450 mil per jam dengan jangkauan 1.600 mil tetapi tetap sangat bermanuver. Berhadapan dengan Mustang dan Thunderbolt Amerika di atas Jerman, Bf 110 kembali menjadi yang diburu bukan pemburu.
Kedatangan Mustang juga menjadikan kekalahan besar Jerman di Perang Dunia II. Desain jenius pesawat Amerika (dan dalam kasus Mustang, mesin British) menciptakan pesawat tempur dengan kecepatan, manuver dan jangkauan tinggi. Ia tidak memiliki persenjataan seperti Bf 110, tapi Mustang akan mampu dengan cepat di belakang Bf 110 dan memberondong dengan senjata yang ada.
Konsep tempur berat masih hidup saat ini, tetapi dalam bentuk mutasi. Ketika kita berbicara tentang jet tempur berat F-15 dan jet tempur ringan F-16, kita melihat pesawat sangat mampu tapi sangat mahal, dibandingkan pesawat serang ringan yang lebih murah tapi kurang mampu.
Perubahan teknologi pesawat dan senjata juga telah menghapus kebutuhan pesawat tempur berat untuk Perang Dunia II. Pada hari-hari selanjutnya, pesawat tempur hanya dipersenjatai dengan meriam dan senapan mesin, yang berarti kecepatan dan kemampuan manuver diperlukan untuk masuk ke posisi tembak di ekor lawan.
Hari ini, sebuah pesawat seperti F-35 dapat mengorbankan kecepatan dan manuver dengan imbalan sensor dan rudal udara ke udara yang paling tidak secara teoretis akan menjadikan pesawat ini menjadi penembak pertama. Bahan bakar ekstra tetap sangat diperlukan tetapi sebuah tanker udara memungkinkan pesawat untuk menikmati rentang jauh tanpa beban berat.
Di 1930 akhir, ketika RAF masih menerbangkan biplanes seperti Gloster Gladiator, Bf 110 tampak sangat mutakhir selayaknya F-22 dibandingkan dengan F-86 saat Perang Korea. Namun perencana Jerman tidak menyadari bahwa kemajuan pesawat dan teknologi mesin akan menghasilkan pesawat bermesin tunggal dengan kisaran yang sama Bf 110. Pada akhirnya konsep “destroyer fighter” tenggelam.
Baca juga:
http://www.jejaktapak.com/2016/06/26/6-senjata-paling-canggih-pada-perang-dunia-ii/