Sepanjang kampanye 2016, banyak orang yang menentang pencalonan Donald Trump tetap enggan mendukung Hillary Clinton. Alasannya perempuan ini dikenal sebagai hawkish (istilah untuk orang pendukung perang).
Tetapi Trump juga memunculkan banyak kekhawatiran karena dia akan menjadi presiden yang tidak memiliki karir panjang dalam pelayanan publik. Kini setelah enam bulan menjabat sebagai Presiden semua kekhawatiran itu terbukti salah total.
Kini bisa dilihat Trump justru menjadi presiden yang sangat senang menggunakan kekuatan miltier Dia adalah presiden paling hawkish dalam sejarah modern Amerika. Di bawah Trump, Amerika Serikat telah menjatuhkan sekitar 20.650 bom hingga 31 Juli, atau 80 persen dari senjata yang dijatuhkan di bawah pemerintahan Obama selama keseluruhan tahun 2016. Pada tingkat ini, Trump akan melampaui jumlah Obama tidak lama lagi.
Di Irak dan Suriah, data menunjukkan bahwa Amerika Serikat menjatuhkan bom pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada bulan Juli, koalisi anti- ISIS (baca: Amerika Serikat) menjatuhkan 4.313 bom, 77 persen lebih banyak dari yang dijatuhkan Juli tahun sebelumnya. Sementara pada Juni senjata yang dijatuhkan adalah 4,848 bom atau 1.600 lebih banyak daripada yang dijatuhkan dalam bulan tertinggi di bawah Presiden Barack Obama sejak kampanye anti-ISIS dimulai.
Di Afghanistan, jumlah senjata yang dilepaskan juga melonjak sejak Trump menjabat. Pada April lebih banyak bom dijatuhkan di negara ini sejak puncak gelombang pasukan Obama pada tahun 2012. Itu juga merupakan bulan di mana Amerika Serikat membom Lembah Mamand Afghanistan dengan bom non-nuklir terbesar yang pernah dijatuhkan dalam pertempuran.
Trump juga telah meningkatkan keterlibatan militer Amerika di negara yang secara resmi tidak dideklarasikan perang yakni Yaman, Somalia, dan Pakistan. Dalam 193 hari terakhir kepresidenan Obama, ada 21 operasi kontraterorisme mematikan di tiga negara ini. Sementara Trump melakukan setidaknya 92 operasi semacam itu di Yaman, tujuh di Somalia, dan empat di Pakistan.
Peningkatan kekuatan udara di Irak dan Suriah telah mengakibatkan tingkat kematian warga sipil yang belum pernah terjadi sebelumnya. Korban sipil meningkat sejak Trump menjabat, meskipun pemantau independen menghitung kematian sebanyak sepuluh kali lebih tinggi.
Menurut PBB, di Afghanistan, selama enam bulan pertama pemerintahan Trump terjadi peningkatan korban sipil 67 persen dibandingkan pada paruh pertama tahun 2016.
Perluasan kekuatan udara dan tingginya korban sipil merupakan masalah yang memang kerap tidak bisa dihindari. Namun keadaan tersebut diperparah oleh kenyataan bahwa mereka terjadi tanpa strategi diplomatik untuk menghentikan perang.
Menteri Pertahanan Amerika James Mattis berjanji kepada Senator John McCain bahwa dia akan memiliki strategi untuk perang di Afghanistan pada pertengahan Juli, namun tinjauan tersebut masih berlangsung.
Meskipun Mattis telah meminta solusi diplomatik untuk konflik di Yaman, pendekatan tersebut tidak koheren dengan serangan dua kali lipat Trump untuk mendukung koalisi pimpinan Saudi yang melakukan kampanye pengeboman melawan Houthi.
Bahkan Trump mengusulkan pemotongan dana sekitar 30 persen hingga lusinan jabatan senior penting di Kementerian Luar Negeri tetap kosong. Tanpa keahlian dan sumber daya dari korps diplomatik yang dikelola sepenuhnya, tidak masuk akal bahwa akan ada penyelesaian politis yang didukung oleh Amerika.
Dengan tidak adanya pendekatan terkoordinasi untuk mengakhiri konflik ini, Trump beralih ke taktik default yang telah menjadi kecanduan para pembuat kebijakan selama sembilan tahun terakhir. Di bawah Trump, kecanduan militer semakin dalam dan itu telah terbukti.
Sumber: Foreign Policy