Amerika tidak memproklamasikan perang dengan Yaman, tetapi hal itu tidak menjadi alasan bagi Pentagon untuk mengirimkan pasukan ke negara tersebut.
Pentagon mengakui sebuah tim kecil Pasukan Khusus Amerika dikabarkan telah berada di lapangan di tengah perang sipil Yaman untuk mendukung operasi melawan Al Qaida Arabian Peninsula (AQAP).
Pasukan terbatas itu dikatakan melakukan misi pelatihan dan intelijen, namun mereka dapat ditarik ke dalam konflik untuk membela diri “Tentu saja bisa. Pertempuran selalu bisa terjadi,” kata Kapten Angkatan Laut Jeff Davis, juru bicara Pentagon sebagaimana dilaporkan Military Times Jumat 4 Agustus 2017.
Davis juga mengatakan kapal tempur amfibi Bataan dengan beberapa ratus marinir di kapal juga beroperasi di wilayah tersebut, namun pasukan dan pesawat terbang dari kapal tidak terlibat dalam operasi yang digelar saat ini.
Tim Amerika di lapangan mendukung serangan oleh Uni Emirat Arab dan pemerintah Perdana Menteri Yaman Abdrabbuh Mansur Hadi yang digulingkan. Pasukan bergerak melawan markas AQAP di Provinsi Shabwah,.
Pasukan AS telah melakukan sejumlah serangan udara di Yaman dan melakukan serangan darat sekali sejak 29 Januari, ketika seorang Navy SEAL – Chief Petty Officer William “Ryan” Owens, terbunuh di operasi militer pertama di Yaman yang diotorisasi Presiden Donald Trump. Tiga SEAL lainnya terluka dan sebuah pesawat MV-22 Osprey hancur dalam operasi tersebut.
Davis mengakui sejak 28 Februari, Amerika telah melakukan setidaknya 80 serangan udara di Yaman, termasuk dukungan udara dekat untuk UEA dan pasukan pemerintah Yaman.
Dia mengatakan Amerika tidak melakukan misi dukungan jarak dekat dalam serangan saat ini terhadap AQAP, namun dia tidak mengesampingkan hal itu teradi di masa depan.
Perang sipil Yaman telah menewaskan lebih dari 10.000 orang dengan lebih dari 2,5 juta orang mengungsi dan menyebabkan bencana kemanusiaan dan epidemi kolera di salah satu negara termiskin di dunia tersebut.
Perang dimulai pada bulan Maret 2015 ketika pemberontak Houthi yang didukung oleh Iran, menguasai ibukota Sanaa, memaksa pemerintah Hadi untuk melarikan diri.
Arab Saudi kemudian datang untuk membantu Hadi, membentuk sebuah koalisi negara-negara Arab termasuk Bahrain, Qatar, Kuwait, Uni Emirat Arab, Mesir, Yordania, Maroko, Senegal dan Sudan. Amerika tidak secara resmi menyatakan bergabung dalam perang tetapi memasok koalisi Arab Saudi dengan pengisian bahan bakar di udara dan intelijen.
Baca juga:
Diduga Hendak Masuk Yaman, 2.000 Senjata Disita dari Kapal Nelayan