Melawan Mataram Menjadi Pertempuran Paling Menjijikkan VOC

Melawan Mataram Menjadi Pertempuran Paling Menjijikkan VOC

Bumi Nusantara memiliki banyak tokoh pemberani yang melawan penjajahan. Salah satunya Sultan Agung, Raja Kerajaan Mataram yang dua kali mengirimkan pasukan ke Batavia untuk menggempur VOC.

Pasukan Sultan Agung  menyerang Batavia dua tahun berturut-turut yakni pada 1628 dan 1629. Prajurit Mataram bertempur di bawah komando Tumenggung Bahureksa dan Ki Mandurareja.  Kedua serangan ini memang pada akhirnya gagal, tetapi sempat membuat benteng VOC kocar-kacir.

Pasukan VOC juga sempat berada pada titik putus asa hingga akhirnya menggunakan cara yang menjijikkan dan menjadikan perang melawan pasukan Mataram sebagai pertempuran paling konyol yang dialami sepanjang sejarah VOC.

Sebuah buku yang ditulis Johan Neuhof (1618-1672 judul Die Gesantschaft der Ost-Indischen Geselschaft in den Vereinigten Niederlaendern an Tartarischen Cham, terbit pada 1669 mengisahkan perang ini. Neuhof adalah orang Jerman yang  menerjemahkan  buku berbahasa Belanda yang berkisah tentang kocar-kacirnya kubu VOC.

Neuhof mengisahkan ketika prajurit Mataram menyerang pertama kali ke Redoute Hollandia di Batavia pada 1628. Prajurit Mataram mengamuk dengan serangan yang sangat hebat pada  September 1628.  Sersan Hans Madelijn bersama 24 serdadunya yang mencoba bertahan dari kepungan harus potang panting karena hanya didukung dua artileri tempur.

Dikisahkan setelah mengepung Kota Batavia selama sebulan, komandan Mataram akhirnya memutuskan untuk melakukan serangan besar-besaran pada 21 dan 22 September malam.  Pasukan VOC pun kewalahan hingga mereka kehabisan amunisi.

Di tengah rasa putus asa, munculnya ide gila dari Madelijn, seorang serdadu VOC. Dia menyelinap ke ruang serdadu kemudian menyuruh anak buahnya untuk membawa sekeranjang  tinja.  Dengan berbagai cara, tinja atau tahi itu dilemparkan ke para prajurit Mataram yang sedang merayap mencoba menembus dinding Hollandia.  Terkejut mendapat serangan menjijikkan itu, pasukan Mataram pun tunggang langgang.

Lukisan pemandangan dari angkasa yang berjudul “Batavia Assiegé en 1629 / Batavia Ao: 1629 belegerd” atau Pengepungan Batavia pada 1629 karya Pierre d’ Hondt. Lukisan ini berorientasi ke arah selatan. Tampak pada sisi barat, Sungai Ciliwung yang belum diluruskan. (Koninklijke Bibliotheek/National Geographic)

Prajurit Mataram pun mencaci-maki penuh amarah.  Dan sejak itu mereka menyebut Batavia sebagai Kota Tahi. Prajurit Mataram mundur ke kemah mereka di pedalaman Batavia dan serangan pun gagal.

Ide gila Sersan Hans Madelijn  sampai ke telinga  Gubernur Jenderal di Kastel hingga dia menjadi pahlawan dan kenaikan pangkat menjadi letnan. Madelijn terbunuh pada usia 34 tahun, ketika meredam kerusuhan di Amboina pada 1639.

Catatan lain yang mengisahkan perang ini adalah Babad Tanah Jawi yang mengisahkan ketika persediaan misiu orang Belanda mulai menipis kotoran orang atau tinja dibuat obat misiu yang menjadikan banyak prajurit Mataram muntah-muntah.

Meski Pangeran Mandurareja belum mau menyerah dan melanjutkan pertempuran tetapi mereka tetap sulit mendekati benteng.

Lukisan “Mislukte belegering op Batavia door de sultan van Mataram in 1628″ yang menggambarkan serangan prajurit Sultan Agung ke Batavia tahun 1628. (Nationaal Archief Nederland/Wikimedia Commons)

Thomas Stamford Raffles juga menceritakan perihal sebutan “Kota Tahi” dalam bukunya yang bertajuk History of Java yang terbit pada 1817. Dia menyebutkan  ketika  orang-orang Belanda dapat dipukul oleh keganasan prajurit Mataram, mereka terpaksa menggunakan batu-batuan sebagai ganti bola-bola besi untuk amunisi meriam. Namun usaha tersebut tetap gagal. “Sebagai usaha terakhir, mereka melemparkan kantong-kantong berisi kotoran yang berbau busuk sekali ke arah orang-orang Jawa, dan sejak saat itulah benteng itu dijuluki dengan nama Kota tahi,” tulisnya

Babad Dipanagara yang ditulis Pangeran Diponegoro saat menjalani pengasingan di Fort Amsterdam, Manado, pada 1831-1832 atau  sekitar dua abad setelah penyerbuan Mataram ke Batavia juga mengisahkan kejadian tersebut.

Dia menulis  Ki Mandureja (Ki Mandurareja) yang memimpin pasukan bergerak  melalui jalan darat. Pasukan digambarkan sangat besar hingga hutan dan jurang pun disebut sampai penuh  oleh prajurit. Mereka bergerak cepat hingga bisa segera sampai Betawi.

Kedatangan pasukan besar ini langsung membuat gempar dan pemimpin VOC mulai gugup. Mereka akhirnya bisa mengumpulkan pasukan berjumlah sekitar 2.000 orang dan bersiap menghadapi serangan. Ki Mandureja menjadi panglima. Prajurit Mataram juga mendapat tambahan kekuatan dari  prajurit yang datang dari pesisir yang dikirim  Pangeran Sumedang, juga adipati dari Tegal.

Denah Kota Batavia sekitar 1627 (berorientasi ke timur) , setahun sebelum penyerangan Mataram ke Batavia. Tampak muara Sungai Ciliwung yang belum diluruskan. Lukisan ini dibuat pada 1919-1921. Kawasan berbingkai merah menunjukkan lokasi Bastion Hollandia yang bersabuk parit, kubu di tenggara kota Batavia. (Tropenmuseum/Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen/National Geographic)

Awalnya prajurit Mataram bisa mengendalikan jalannya pertempuran. Sampai VOC mulai kehabisan amunisi hingga akhirnya menggunakan tahi manusia untuk melawan.

“Peluru habis maka dibuatlah peluru dari tinja, menyingkirlah semua, menyendoki tinja, demikian  Ki Mandura  terkena peluru tinja, beliau berlumuran tinja,” tulis Pangeran Diponegoro.

“Para adipati merasa jengkel, mundurlah semuanya, semua terkena tinja, kembali ke perkemahan, mandi membersihkan diri, cerita pun hening.”

Yang jadi pertanyaan, bagaimana VOC bisa mendapatkan tinja begitu banyak dalam waktu relatif cepat? Sulit mendapatkan catatan tentang hal itu.