
Catatan ini membuktikan betapa maraknya kegiatan perdagangan di Aceh di tahun 1680-an, dan yang lebih penting lagi, juga menunjukkan betapa besar kelenturan jejaring perdagangan Asia, bahkan sesudah terjadi campur tangan perdagangan orang Eropa selama puluhan tahun.
Sejak zaman Sultanah Safiatuddin Syah, para pedagang Muslim dari kawasan ini, India dan Timur Tengah lebih diperhatikan dan kebijakan tersebut terus berlangsung hingga zaman kekuasaan ratu terakhir, seperti dilaporkan di sini – “mereka terutama memilih para pedagang Muslim yang datang berdagang di sini”.
Di tahun 1680-an, Aceh tetap menjadi pelabuhan antara yang utama bagi perdagangan tekstil dari India ke kawasan ini. Selain tekstil, maka perdagangan budak antara Madras dan Aceh juga berkembang pesat hingga di dasawarsa 1690-an dengan juga melibatkan pedagang Denmark selain pedagang India dan Inggris.
John Pitt yang berada di Aceh tahun 1685 menyebutkan tentang “sebuah armada kapal besar bersandar di pelabuhan bermuaan sejumlah bal kain dan beras.” Pada tahun 1690-an, de Roy menulis tentang perkembangan kota pelabuhan Aceh yang dikunjungi ratusan kapal Eropa setiap tahun begitu juga kapal-kapal milik penduduk asli.
De Roy menilai Aceh sebagai tempat terbaik di Hindia Timur untuk mencari untung. Di paruh kedua abad ke-17, emas menjadi komoditi perdagangan penting, bahkan mengungguli lada terutama sesudah emas ditemukan pada zaman pemerintahan Sultanah Safiatuddin Syah dan semakin banyak tambang emas dibuka, tetapi sudah tentu dilarang bagi orang asing.

Dalam paruh terakhir abad ke-17, terutama di bawah penguasaan keempat ratu, maka lebih dikedepankan kebijakan untuk mengakomodasi dan menjalin hubungan diplomatik dengan kekuasaan-kekuasaan lain ketimbang melakukan peperangan seperti yang lazim dilakukan oleh penguasa laki-laki sebelumnya.
Oleh karena itu maka angkatan perang serta persenjataan Aceh tidak menjadi semakin kuat. Di dalam negeri, para penguasa wanita memerintah dengan damai (tiga penguasa wanita pertama memerintah hingga mereka wafat), dengan berbagi kekuasaan dengan para “orang kaya” (tokoh).
Pada tahun 1670-an, menurut pengamatan Thomas Bowrey bahwa Aceh untuk rentang waktu yang cukup panjang diperintah oleh seorang ratu sehingga gelar raja bagi penduduk menjadi memuakkan. Pada tahun 1680-an, William Dampier mencatat pendapat orang Inggris yang tinggal di sana bahwa, berdasarkan undang-undang dasar sekarang ini yang sudah berumur sangat lama, ratu telah memerintah di Aceh sejak permulaan.
Memandang betapa lamanya kanun kerajaan yang ada sekarang, diyakini bahwa Ratu Sheba adalah ratu negeri ini. Bowrey menjelaskan bahwa para lelaki yang bekerja di pemerintahan ratu sangat patuh dan menghormati ratu.
Mereka tidak berani melakukan apapun sebelum mereka memberitahu sang Ratu tentang suatu persoalan. Dan jika sang ratu setuju, dia mengirimkan chap sebagai tanda mengabulkan permohonan mereka.
Kecuali beberapa unjuk rasa yang sesekali terjadi menentang pemerintahan dipimpin oleh perempuan yang disuarakan oleh sejumlah faksi dalam negeri seperti di tahun 1688 yang kemudian juga berhasil diselesaikan dengan memilih seorang penguasa wanita lain yaitu Kamalat Syah sehingga Aceh tidak mengalami peperangan atau kemelut domestik maupun eksternal.
Inilah yang menjadi kunci perkembangan pesat aktivitas perdagangan. Pada akhir abad ke-tujuhbelas Aceh tetap menjadi sebuah kerajaan yang merdeka, berlainan dengan kebanyakan kerajaan Melayu.
Sumber: Arsip Nasional Republik Indonesia