Patung Dewa Perang Kwan Sing Tee Koen di Tuban yang didirikan di Tuban dan dinobatkan MURI sebagai patung terbesar se-Asia Tenggara memang layak untuk dipertanyakan. Sebuah pertanyaan simple saja, apakah Indonesia kekurangan tokoh besar untuk bisa dibuat patung atau monument yang hebat? Lantas siapa Kwan Sing Ten Koen? Apakah lebih berjasa dibandingkan Jenderal Sudirman, Gadjah Mada, Hasanuddin, Tjut Nyak Dien, Bung Karno, Bung Hatta atau ribuan tokoh hebat negeri ini?
Patung yang men ghabiskan dana Rp2,5 miliar itu didirikan di Kelenteng Kwan Sing Bio, Tuban, Jawa Timur dan diresmikan oleh Ketua MPR pada 17 Juli 2017 lalu. Patung memiliki tinggi total 30,4 meter yang berarti hampir tiga kali lipat dibandingkan patung Jenderal Sudirman yang berdiri gagah di Jakarta.
Pembangunan menggunakan dana swadaya jemaah klenteng. Patung Kwan Sing Tee Koen oleh empunya (Klenteng Kwan Sing Bio, Tuban, Jawa Timur) dikatakan sebagai simbol kejujuran dan setia. Apakah para pejuang negara ini tidak patut disimbolkan sebagai orang-orang jujur lagi setia?
Kwan Sing Tee Koen harus dilihat dari perspektif geopolitik dan geostrategi. Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) Nazaruddin Sjamsudin, mengatakan patung Jenderal Perang Cina itu dapat diartikan dan dibaca sebagai mile stones (tonggak sejarah) Cina mematok kekuatan Cina (RRC) sudah sampai mana di Indonesia. Lebih-lebih Kwan Sing Tee Koen dikenal sebagai Jenderal Perang, bukan Dewa Perang.
Kwan Sing Tee Koen hidup pada zaman San Guo (221-269). Pihak Klenteng Kwan Sing Bio, Tuban sendiri mengkonfirmasi pembangunan patung Kwan Sing Tee Koen didanai seorang donatur yang notabene jemaat Klenteng.
Dikatakan, patung itu bukan untuk ritual pemujaan melainkan hanya menampilkan figur. Menyebut San Guo, orang pasti teringat pada sebuah roman berlatar-belakang sejarah dari zaman Dinasti Han dan Tiga Negara (Kisah Tiga Kerajaan), yakni Cao Cao (negeri Wei), Liu Bei (negeri Shu) dan Sun Quan (negeri Wu).
Mengutip Wikipedia, di kalangan Tionghoa di Indonesia, kisah itu dikenal dengan nama Samkok yang merupakan dialek Hokkian dari Sanguo atau tiga negara.
Lalu, apakah Jenderal Perang Cina Kwan Sing Tee Koen itu memiliki ikatan sejarah dan peradaban bangsa Indonesia?
Entah kebetulan atau tidak, patung ini diresmikan hampir bersamaan dengan perayaan besar-besaran Tentara Rakyat China yang ke-90 pada 31 Juli 2017. Militer China melakukan unjuk kekuatan besar-besaran dengan menampilkan berbagai senjata terbaru mereka. Ini merupakan pertama kalinya China memperingati Hari Angkatan Bersenjata yang secara resmi jatuh pada 1 Agustus. Peringatan ini juga pertama kalinya sejak revolusi Komunis pada 1949 silam.
Sejarahwan JJ Rizal mengkritisi pembangunan patung ini. Menurut dia, tokoh bangsa yang berasal dari Tuban, Jawa Timur, sesungguhnya banyak.
Misalnya saja, Sunan Kalijaga yang juga disebut sebagai Pangeran Tuban. Lantas mengapa harus repot membuat patung dengan tokoh besar berkebangsaan China?
JJ Rizal mempertanyakan jika ingin memajukan nilai luhur mengapa tidak berpatokan pada Jas Merah. ” Kalau patung itu tidak ada kaitannya dengan peribadatan, tetapi lebih ingin memajukan nilai luhur, mengapa tidak pulang ke rumah sejarah bangsa?” ujar dia.
“Lagi pula bukankah Tuban memiliki banyak tokoh bangsa yang bisa menjadi sumber teladan nilai luhur? Seperti Soegondo Djojopoespito,” kata dia.
Rizal memaparkan Soegondo Djojopoespito adalah orang yang menjadi tokoh utama Kongres Pemuda ke-2 dan kemudian kita kenal sebagai Sumpah Pemuda. Momen itu adalah proklamasi pertama Indonesia sebagai bangsa.
Lalu, Rizal juga menyebutkan nama AK Pringgodigdo yang memainkan peran penting di BPUPKI dan menyelamatkan arsip risalah sidang BPUPKI. Kedua nama itu adalah tokoh yang berasal dari Tuban. “Sangat layak untuk dipertimbangkan agar patungnya bisa dibuat se-eksklusif mungkin,” kata dia sebagaimana dilansir Republika.
Rizal menegaskan, pembuatan patung panglima perang dari sejarah Cina itu, di tengah situasi pergaulan kebangsaaan yang tegang karena isu pluralisme, justru bukan menenangkan masyarakat. Malah yang terjadi justru memberikan dampak sebaliknya.
Keberadaan patung itu bukan ada tanpa masalah. Masalah ada di perizinan yang disoal Pemkab Tuban dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan isu SARA. Pemkab, bersama Forkopimda, MUI, dan sejumlah Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Tuban langsung melakukan kordinasi, Senin 31 Juli 2018 malam agar masalah perizinan tidak merembet ke isu SARA.
“Salah satu penyelesaiannya maka kita berembuk ini. Dan ini merupakan langkah untuk mengantisipasi isu yang semakin liar dan tidak karuan,” ungkap Wakil Bupati Tuban, Noor Nahar Hussein.
Pemkab Tuban menyoal keberadaan patung yang sudah didirikan, sementara Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari Pengurus Klenteng Kwan Sing Bio belum memenuhi syarat kelengkapan. Yang jelas, pemerintah akan tegas menegakan aturan yang ada.
Pada akhirnya, patung ini tidak sekadar batu yang diukir dan didirikan, tetapi menjadi sebuah simbol. Kenapa patung didirikan, kenapa tokoh itu yang dipilih, kenapa harus besar, dan sebagainya adalah hal-hal yang menjadi pertimbangan ketika hendak mendirikan patung.
Ketika sosok yang bukan dari negeri ini dipilih untuk dijadikan tokoh patung terbesar, maka wajar jika itu mengusik rasa nasionalisme bangsa. Wajar muncul pertanyaan, apakah negeri ini sudah kekurangan tokoh besar?