Kerajaan Jambi merupakan salah satu kekuatan penting Nusantara pada masa lalu. Kerajaan ini juga memiliki sistem militer yang cukup unik dengan melibatkan para nelayan.
Layaknya kerajaan-kerajaan Melayu lain di sepanjang Selat Melaka, seperti Indragiri, Palembang dan Johor, maka Jambi juga membawahi sejumlah kelompok Orang Laut yang bermata pencaharian sebagai nelayan dan pengumpul hasil laut.
Permukiman utama Orang Laut di Jambi terletak di Simpang, yaitu di muara Sungai Nior, sebuah anak sungai dari Sungai Batang Hari yang memuntahkan airnya ke Selat Melaka. Dari pangkalan inilah Orang Laut menyebar-luaskan berbagai berita tentang kegiatan maritim, membimbing kapal-kapal yang berlayar masuk ke hulu sungai dan melakukan patroli di lajur-lajur pelayaran di sekitarnya.
Apabila terjadi penyerbuan, maka mereka mengerahkan armada kapal mereka, menyerang kapal-kapal musuh dan (atas perintah penguasa) seringkali mengganggu kapal-kapal yang dalam perjalanan menuju pelabuhan lain dengan tujuan untuk menghancurkan kegiatan perdagangan musuh.
Dengan demikian Orang Laut sebenarnya merupakan unsur kunci dalam ekonomi Jambi, dan berperan pokok dalam menopang keamanan. Sebagai imbalan, maka penguasa menganugerahkan para pemimpin Orang Laut berbagai gelar kehormatan dan juga sejumlah hadiah (termasuk wanita) serta mengizinkan mereka memiliki sebagian dari hasil rampasan yang mereka peroleh ketika melancarkan serangan tersebut. Ciri tradisional dari semua masyarakat Orang Laut adalah kesetiaan dari setiap anggota mereka kepada penguasa yang mereka layani.
Selama abad ke-16, Jambi menjadi terkenal berkat lada yang ditanam di dataran tinggi, dan di tahun 1615 Kompeni Belanda dan Kompeni Inggris mendirikan pangkalan-pangkalan mereka masing-masing di kawasan tersebut.
Pada masa itu, Jambi bersekutu dengan Johor, akan tetapi kemudian timbul sejumlah perselisihan ketika mereka berdua menyatakan berhak mengendalikan Tungkal, yaitu sebuah kawasan di perbatasan Jambi dengan Indragiri yang merupakan jalan masuk ke kawasan pedalaman tempat lada ditanam.
Antara 1671 dan 1674, perselisihan yang berkepanjangan itu memuncak menjadi sebuah konflik terbuka, Orang Laut yang tunduk pada penguasa Jambi merompak kapal-kapal di perairan Johor, sementara Orang Laut dari Johor melancarkan aksi serupa di Jambi.
Armada Johor bahkan berlayar masuk ke Sungai Batang Hari dan mengancam ibu kota Jambi. Namun, hubungan mereka kemudian membaik dan di tahun 1681 para penguasa Jambi dan Johor masih bersedia untuk membina suatu persekutuan guna menghadapi saingan bersama mereka yaitu Palembang.
Orang Laut dari kedua kerajaan menyerang kapal-kapal dagang di perairan Palembang dan juga menjarah kawasan pesisir.
Menjelang akhir abad ke-17 Orang Laut menghadapi ujian. Ekononi Jambi merosot tajam akibat jatuhnya harga lada dan keresahan semakin meluas sehingga di tahun 1687 Belanda mencomot serta membuang penguasa dan melantik putranya, Kiai Gede, sebagai penguasa baru.
Akan tetapi, sebagian Orang Laut menolak untuk mengalihkan kesetiaan mereka kepada sultan baru yang tidak disenangi utamanya karena akibat ekonomi yang buruk, penguasa tidak dapat memberi mereka ganjaran seperti yang dilakukan para penguasa sebelumnya.
Beberapa di antara mereka bahkan meninggalkan Jambi dan menjadi kawula penguasa Indragiri. Sebagian lagi tetap tinggal di Jambi karena percaya bahwa Kiai Gede adalah raja yang sah dan seyogyanya mendapat kesetiaan mereka, kendati mereka maklum bahwa beliau memiliki sejumlah kekurangan.
Sementara itu Johor juga menghadapi sejumlah masalah. Di tahun 1699, ketika penguasa dibunuh oleh kelompok elite, sejumlah kelompok Orang Laut menolak untuk melayani sultan baru (yang merupakan pemimpin dalam komplotan pembunuhan sultan lama) dan memilih untuk menjadi kawula Sultan Palembang.
Namun, banyak Orang Laut tetap setia pada dinasti baru karena mereka tetap dapat memperoleh keuntungan dari perdagangan Johor yang rancak. Kesejahteraan tersebut berimbas bahwa semakin banyak kapal yang kemudian berkunjung ke ibukota Johor yang baru yang terletak di pulau Bintan (dekat Singapura masa kini) dengan akibat bahwa keuntungan yang selama itu mengalir ke Melaka yang berada di bawah kendali VOC terus menurun.
Saudara laki-laki Sultan Melaka yaitu Raja Muda yang sangat berkuasa, juga memanfaatkan Orang Laut untuk memengaruhi para mualim kapal agar tidak memilih pelabuhan lain di Selat Melaka atau bahkan menghalangi mereka. Jurus-jurus siasat demikian melahirkan semangat permusuhan besar antara Johor dan Melaka yang dikuasai Belanda.