Indonesia sebenarnya memiliki banyak ahli kedirgantaraan dan pertahanan, sayangnya mereka bertebaran di luar negeri setelah industri penerbangan di negeri ini menurun..
Namun, menurut Kabalitbang Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Anne Kusmayati, para ahli ini sebagian berada di luar negeri untuk mencari penghidupan lebih baik. Mereka di antaranya adalah mantan karyawan Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) yang kini bernama PT Dirgantara Indonesia (DI).
“Bukan hanya [karena) uang ketika ada kegiatan dan mainan, insya Allah mereka bisa dipanggil lagi ke sini,” katanya dalam pemaparannya soal pesawat tempur KF-X/IF-X di Kantor Kemenhan, Jakarta Pusat, Jumat 28 Juli 2017.
Fenomena perginya para ahli dari satu negara, seperti yang terjadi dengan Indonesia pasca-penurunan industri dirgantara setelah 1998, disebut dengan ‘brain drain.’ Hal itu antara lain disebabkan Indonesia yang saat itu terlilit masalah keuangan, terpaksa meminjam uang dari International Monetary Fund (IMF).
Sang pemberi utang, melarang uangnya dipakai untuk industri dirgantara. Anak negeri yang banyak dimanfaatkan kemampuannya di perusahaan-perusahaan dirgantara asing seperti Boeing, Airbus, dan Embraer.
Menurut Anne Kusmayati, akan terpanggil jika mengetahui Indonesia saat ini tengah membutuhkan tenaga mereka untuk pembuatan pesawat tempur KF-X/IF-X, yang merupakan kerja sama antara Indonesia dengan Korea Selatan.
Dengan proyek yang berlangsung hingga 2026 mendatang itu, Indonesia membutuhkan banyak tenaga anak negeri, termasuk mereka yang saat ini bertebaran di berbagai perusahaan dirgantara asing. Ia yakin mereka pasti pulang, untuk ikut membantu proyek di mana PT DI juga ikut terlibat.
“Ketika ada mainan [pekerjaan] mereka pasti kembali. Beda psikologisnya orang Indonesia. Orang Indonesia pasti rindu kampung halaman, apalagi mainan itu ada, ‘brain drainner’ itu pasti kembali,” ucapnya optimistis.
Anne Kusmayati mengatakan, untuk merampungkan proyek pembuatan pesawat KF-X/IF-X yang merupakan kerja sama antara Indonesia dan Korea Selatan, membutuhkan dana sekitar Rp 21, 7 triliun. Pembayaran kewajiban itu dilakukan bertahap selama 12 tahun, mulai 2016 hingga 2026, setelah proyek rampung. Indonesia saat ini sudah menyetor lebih dari Rp 594 miliar. “Pembayarannya setahun dua kali, bulan April dan bulan Oktober,” ungkapnya.
Pembuatan pesawat tempur generasi 4.5 itu adalah investasi jangka panjang. Jika sampai 2026 mendatang pesawat sudah selesai diproduksi dan mengantongi izin dari berbagai otoritas yang berwenang, maka produksi massal bisa dilakukan, dan dilanjutkan dengan proses pemasaran.
Selain bisa mendongkrak industri kedirgantaraan dalam negeri, Indonesia juga bisa mendongkrak industri pertahanan lainnya yang terkait. Sedikit banyaknya, kemajuan teknologi yang didapat melalui proses pembuatan pesawat tempur sendiri, bisa dimanfaatkan di industri pertahanan lainnya.
“Kita tahu perkembangan teknologi ini akan men-drive teknologi komersial lainnya,” ujar Anne. Kusmayati dilansir Warta Kota.
Selain keuntungan finansial dari investasi pembuatan pesawat tempur itu, Indonesia juga bisa memiliki pertahanan udara yang lebih baik dengan pesawat hasil kerja sama Indonesia-Korea Selatan tersebut, karena pesawat bisa diproduksi khusus untuk kebutuhan TNI Angkatan Udara.