Tiga organisasi masyarakat sipil telah mengajukan dua tuntutan hukum terhadap pemerintah Prancis dan bank terbesar Prancis BNP Paribas. Keduanya dituduh terlibat dalam genosida minoritas Tutsi Rwanda 1994, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kepemimpinan politik dan militer Prancis dituduh memasok senjata kepada ekstremis Hutu yang membunuh sekitar 1 juta anggota minoritas Tutut di Peru selama tiga bulan pembunuhan tersebut.
Sementara BNP Paribas dituduh membiayai pembelian 80 ton senjata yang digunakan untuk melakukan kejahatan genosida.
Setelah jurnalis Prancis Patrick de Saint-Exupery menudingkan jarinya ke Paris dalam sebuah artikel yang merinci peran Prancis dalam genosida 1994, Survie (Survival), sebuah asosiasi Prancis yang “mencela semua bentuk intervensi neo-kolonial Prancis di Afrika,” mengajukan tuntutan kedua terhadap pemerintah Prancis yang bertujuan untuk menyoroti hubungan antara otoritas Rwanda dan pemimpin politik dan militer Prancis, ” Tuntutan kedua diajukan pada tahun 2015 lalu.
Tiga organisasi nonpemerintah – Sherpa, CPCR (Collective of Civil Parties for Rwanda) dan Ibuka France – mengatakan pada Kamis 29 Juni 2017 bahwa dalam tuntutan, mereka menuduh BNP Paribas terlibat dalam genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.
Mereka mengatakan embargo senjata PBB terhadap Rwanda telah diberlakukan pada saat pemindahan senjata.
Dalam sebuah wawancara dengan Sputnik France, ketua CPCR Alain Gauthier mengatakan bahwa dia berharap agar tuntutan hukum tersebut akan menjelaskan keputusan BNP Paribas pada bulan Juli 1994 untuk membiayai pembelian senjata, yang kemudian dipasok ke Rwanda yang melanggar embargo Dewan Keamanan PBB.
“Kami berbicara tentang kerjasama yang dilakukan bersama oleh negara Prancis dan pemerintah presiden [Rwanda] Habiariman, yang bertanggung jawab atas genosida tersebut. Ini adalah masalah Rwanda dan seluruh Afrika. Perancis bertindak dengan cara yang buruk. Beberapa kepentingan negara tidak selalu diketahui, tapi lebih dari satu juta orang Rwanda dibantai, “kata Alain Gauthier Minggu 2 Juli 2017.
Dia berharap agar dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kejadian tragis di Rwanda akhirnya tidak dibuka.
“Saya berharap Presiden Macron akan lebih memperhatikan permintaan kami. Saya mengirimkan pesan pribadi kepadanya setelah dia terpilih tapi saya belum mendapat jawaban, “Gauthier menambahkan.
Rwanda membuka sebuah penyelidikan pada bulan November mengenai kemungkinan peran setidaknya 20 pejabat militer dan pejabat Prancis dalam genosida tahun 1994. Paris tetap enggan untuk mendeklasifikasi file kunci yang terkait dengan genosida tersebut dan telah menyatakan bahwa Prancis tidak berperan dalam pembantaian tersebut.
Genosida Rwanda adalah pembantaian massal Tutsi oleh anggota pemerintah mayoritas Hutu. Diperkirakan 1 juta warga Rwanda terbunuh dalam periode 100 hari dari tanggal 7 April sampai pertengahan Juli 1994, yang merupakan 70 persen populasi Tutsi.
Genosida dan pembantaian Rwanda berakhir ketika Front Patriotik Rwanda yang dipimpin Tutsi menyebabkan Paul Kagame menguasai negara tersebut. Diperkirakan 2 juta orang Rwanda, kebanyakan orang Hutu menjadi pengungsi.
Baca juga:
4 Juta Muslim Tewas Dalam Perang Barat: Apakah Ini Bukan Genosida?