Beberapa waktu silam Amerika Serikat berjanji untuk mendanai upgrade lapangan udara militer di Keflavik Islandia, sebuah lapangan yang digunakan pada era Perang Dingin dan tidak lagi dipakai. Perbaikan akan memungkinkan pesawat patroli maritim P-8 Poseidon Angkatan Laut AS untuk mengawasi kekuatan kapal selam Rusia yang semakin aktif seiring dengan ketegangan antara Moskow dan Barat. Singkatnya, gap Greenland-Islandia-UK (GIUK) telah kembali.
Selama Perang Dingin, chokepoint maritim antara Greenland, Islandia, dan Inggris merupakan kunci pertahanan Eropa. Gap GIUK merupakan garis di mana angkatan laut Soviet harus menyeberang untuk mencapai Atlantik dan akan menjadi pemberhentian pasukan AS menuju seberang laut guna memperkuat sekutu Eropa Amerika. Ini juga menjadi daerah di mana kapal selam nuklir Uni Soviet harus mampu lolos jika mereka ingin melakukan serangan nuklir.
Sebagai tanggapan, Amerika Serikat dan sekutu NATO kala itu harus menghabiskan banyak waktu, uang, dan usaha guna memperkuat kemampuan perang anti-kapal selam serta intelijen, pengawasan, dan pengintaian di wilayah tersebut.
Pesawat patroli maritim dari Inggris, Norwegia, dan AS (Navy P-3, terbang dari Keflavik) menutup daerah dari atas, sementara kapal selam nuklir dan konvensional mengintai di bawah permukaan. Chokepoint juga menggunakan jaringan canggih dari sensor bawah air untuk mendeteksi dan melacak kapal selam Soviet.
Tapi setelah Perang Dingin berakhir, gap GIUK menghilang dari pikiran maritim NATO. Pasukan AS meninggalkan Islandia pada tahun 2006, dan Inggris yang menghadapi tekanan anggaran, mempensiun armada armada pesawat patroli maritim mereka pada tahun 2010. Belanda melakukan hal yang sama pada tahun 2003. Peperangan anti-kapal selam dan Atlantik Utara hampir menjadi tidak prioritas bagi aliansi dalam pemeliharaan perdamaian, kontra-pemberontakan, dan memerangi bajak laut di Bosnia, Afghanistan, dan Tanduk Afrika.
Tapi kini istilah “Gap GIUK ” kini terdengar lagi di kalangan NATO dan kadang-kadang disebut sebagai Gap GIUK-N, untuk menandakan masuknya domain maritim Norwegia. Hal ini menjadi semakin jelas ketika Rusia menuangkan uang ke angkatan laut mereka dengan membangun kekuatan laut khususnya armada kapal selam. Moskow memperkenalkan kapal selam serang baru baik konvensional dan nuklir, di antaranya kelas Yasen dan kelas Kalina, yang telah mampu mengurangi tingkat kebisingan hingga menjadi semakin sulit terdeteksi. Kelas Kalina. Banyak investasi Rusia di kekuatan kapal selam yang telah difokuskan untuk Armada Utara, yang berbasis di Murmansk dan dimaksudkan untuk operasi di dalam dan sekitar Kutub Utara, serta Atlantik.
Armada Utara juga merupakan rumah dari penangkal nuklir berbasis kapal selam Rusia. Inggris, Swedia, dan Finlandia semua meluncurkan perburuan terhadap kapal selam yang dicurigai milik Rusia di perairan teritorial mereka. Rusia juga telah memamerkan kemampuan baru untuk meluncurkan rudal jelajah darat dari kapal selam serta rudal dari kapal permukaan untuk menyerang target di Suriah.
Next: Melawan Armada Utara
Melawan Armada Utara
Kemampuan kapal selam dan permukaan Rusia digabungkan dengan kemauan politik yang jelas untuk menggunakannya. Hal itu semakin terlihat ketika Rusia baru-baru ini merevisi strategi maritim dengan menekankan operasi di Kutub Utara, bersama dengan kebutuhan untuk pasukan maritim Rusia guna memiliki akses ke lebih luas Samudera Atlantik.
Dan yang belum berubah dari era Perang Dingin adalah ketika mereka ingin mendapatkan akses itu maka harus melalui Gap GIUK. Akhirnya Amerika Serikat berputar kembali ke daerah tersebut. Pemerintahan Obama berniat menghabiskan bagian dari anggaran Eropa Observari Initiative 2017 pada fasilitas upgrade di Keflavik.
Dan AS tidak sendirian. Inggris baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka akan berusaha untuk membangun kembali armada pesawat patroli maritim, mungkin dengan membeli Boeing P-8. Norwegia juga mempertimbangkan pilihan untuk membeli pesawat patroli maritim, dan juga mencari kapal selam kelas baru. Norwegia juga baru saja mengupgrade kapal sinyal intelijen dengan sensor baru dari AS, dan kapal terutama yang ditujukan untuk operasi di ruang maritim besar dari Tinggi Utara.
Tantangan yang muncul di Atlantik Utara juga harus mendorong NATO dan para anggotanya untuk melihat pada regenerasi kemampuan untuk melakukan perang anti-kapal selam melawan musuh yang kuat. Negara-negara Eropa juga harus berusaha keras untuk membangun armada pesawat patroli maritim yang sebagian besar sudah tua dan berpikir tentang masa depan. Inggris dan Belanda bukan satu-satunya negara yang membiarkan armada patroli maritim mereka terpeleset setelah berakhirnya Perang Dingin.
Sementara ketika AS dan NATO berupaya menghalangi agresi Rusia dengan penyebaran kekuatan tanah, latihan, dan peralatan pra strategis di timur, sebagian besar pertunjukkan tak terlihat di Eropa juga muncul di Atlantik Utara. Gap GIUK telah kembali.