Teror bom yang terjadi di Manchester Inggris membuka kisah lama bagaimana Inggris berusaha menggulingkan pemimpin Libya Moamar Gadafi.
Pada 2011, pemerintah Inggris secara mengejutkan mengubah kebijakan terhadap orang-oran buangan Libya yang ada di Inggris. London menerapkan kebijakan “pintu terbuka” yang memungkinkan orang-orang buangan Libya dan warga negara Inggris-Libya untuk bergabung dalam perang sipil 2011 untuk menggulingkan Muammar Gaddafi.
Inggris tidak memperdulikan latar belakang orang Libya tersebut, meski beberapa orang di antaranya sebelumnya dianggap sebagai ancaman keamanan. Salah satunya adalah ayah dari pelaku serangan bom di Manchester, Salman Abedi.
Beberapa mantan pemberontak yang sekarang kembali ke Inggris mengungkapkan bahwa mereka dapat melakukan perjalanan ke Libya “tanpa ada pertanyaan yang diajukan,” dan percaya perjalanan mereka secara aktif difasilitasi oleh pihak berwenang.
Pada 2005, menyusul pemboman London, pemerintah Inggris menerapkan “control orders” atau pengawasan yang kontroversial. Pengawasan yang diperkenalkan di bawah UU Kontraterorisme ini secara efektif menjadikan sejumlah orang yang dianggap dicurigai sebagai tahanan rumah.
Perintah tersebut memungkinkan pihak berwenang untuk membatasi pergerakan individu yang dicurigai terlibat dalam kegiatan terorisme dan ekstremis. Mereka diharuskan untuk tetap berada di alamat yang terdaftar hingga 16 jam sehari, memberi pelacak elektronik, membatasi akses terhadap sumber komunikasi dan melarang mereka bertemu atau berkomunikasi dengan orang lain yang dianggap berbahaya.
Sedikitnya 12 orang yang tunduk pada perintah kontrol karena dicurigai memiliki hubungan langsung dan tidak langsung terkoneksi dengan Libyan Islamic Fighting Group (LIFG) yang memiliki hubungan dengan al-Qaeda Libya. Mereka dikenal sebagai kelompok militan Islam anti-Gaddafi yang didirikan pada tahun 1990.
Namun, pada tahun 2011, saat serangan udara Amerika, Inggris dan Prancis menghancurkan Tripoli, perintah mereka dicabut dan paspor dikembalikan.
Satu per satu rute ke larangan di bawah apa yang disebut “Schedule 7” dihentikan. “Schedule 7” memungkinkan petugas polisi dan imigrasi untuk menahan dan mempertanyakan setiap orang yang melewati kontrol perbatasan untuk menentukan apakah mereka terlibat dalam terorisme.
Orang-orang Libya buangan di Inggris ini kemudian ditanya oleh petugas MI5 apakah dia “bersedia untuk berperang,” dan mengatakan pemerintah Inggris tidak ada masalah dengan siapapun yang ingin berperang melawan Gaddafi.
Salah satu yang dikirim ke Libya adalah ayah pelaku serangan Manchester, Salman Abedi yang bernama Ramadan. Salman tidak bergabung dalam pemberontak yang dipasok Inggris ke Libya karena saat itu usianya masih 16 tahun sementara batas minimal usia yang diizinkan adalh 18 tahun.
Meskipun demikian, dia diketahui telah mengunjungi negara tersebut beberapa kali selama dan setelah revolusi, dan berhubungan dengan Anil Khalil Raoufi, seorang perekrut ISIS dari Didsbury yang terbunuh di Suriah pada tahun 2014.
Seorang pejuang Inggris-Libya bahkan menggambarkan telah melakukan “pekerjaan humas” bagi pemberontak sebelum penggulingan kekerasan Gaddafi, mengedit video yang menggambarkan pemberontak Libya dilatih oleh mantan pasukan SAS Inggris di Benghazi, untuk menggalang dukungan finansial untuk si pemberontak