Site icon

Rusia Bangun CSTO, Mampukah Tandingi NATO?

Pada masa Perang Dingin, Uni Soviet membangun Pakta Warsawa, sebuah pakta pertahanan yang merupakan gabungan sejumlah negara. Kelompok ini menjadi saingan head to head dengan NATO.

Pakta Warsawa bubar seiring dengan runtuhnya Soviet menjadi negara-negara kecil pada tahun 1991. Sementara NATO tetap eksis bahkan beberapa negara-negara yang dulu bagian dari Pakta Warsawa kini bergabung dengan aliansi ini.

Kini Rusia mencoba merintis sebuah pakta pertahanan baru yang dikenal sebagai Pakta Pertahanan Keamanan Kolektif atau Collective Security Treaty Organization (CSTO) untuk membuat terobosan ke negara-negara terdekat yang dulu milik Uni Soviet.

Namun meskipun Rusia telah melakukan upaya terbaik, CSTO belum menjadi alat yang ampuh seperti yang diharapkan Moskow.  Perpecahan yang terus-menerus terjadi antara negara-negara anggota terus membatasi efektivitas blok militer.  Di sisi lain  Kremlin sendiri  ragu-ragu untuk menarik blok tersebut dalam konflik di luar negeri

CSTO dimulai pada tahun 1992 sebagai sebuah Perjanjian Keamanan Kolektif, kesepakatan diikuti oleh negara-negara yang baru merdeka dari bekas Uni Soviet itu yang  membentuk Commonwealth of Independent States.

Perjanjian itu dirancang untuk mendorong dan memfasilitasi kerja sama keamanan antara penanda tangannya.  Sebuah serangan terhadap salah satu anggota adalah serangan terhadap semua, dan dalam dua tahun pertama blok tumbuh  mencakup Rusia, Belarus, Georgia, Armenia, Azerbaijan, Kazakhstan, Uzbekistan, Kirgistan dan Tajikistan. Tapi pada tahun 1999, tiga anggota – Uzbekistan, Georgia dan Azerbaijan  telah menarik diri dari blok itu dan mulai menjauhkan  dari Rusia.

Meski begitu, Moskow telah  memikirkan blok untuk dijadikan  kendaraan guna mendapatkan pengaruh di antara tetangganya, terutama karena bobot Rusia di internasional mulai melonjak pada pertengahan 2000-an.

Berharap untuk membangun citra sebagai kekuatan besar, Rusia mulai memamerkan CSTO ke seluruh dunia sebagai penyeimbang NATO. Latihan militer antara anggota blok  tumbuh lebih besar dan lebih sering, dan penciptaan Angkatan Kolektif Reaksi Cepat CSTO dilakukan  pada tahun 2009 mendorong kredibilitas dan prestise organisasi di panggung global.

Tapi serangkaian masalah segera menuunjukkan  keterbatasan CSTO sebagai entitas militer aktif dan responsif. Ketika gelombang kekerasan etnis antara Uzbek dan Kyrgyz pecah di Kyrgyzstan selatan pada 2010, Bishkek meminta anggota blok sesama untuk campur tangan atas namanya.

Sekjen CSTO Nikolai Bordyuzha   menolak untuk mengambil tindakan. Sekretaris jenderal, yang pada dasarnya bertindak sebagai saluran untuk Kremlin, menjelaskan keputusannya dengan mengatakan konflik tersebut adalah urusan dalam negeri.

Dia membuat argumen yang sama dua tahun kemudian ketika ia menolak permintaan Presiden Belarusia Aleksandr Lukashenko agar blok itu memadamkan bentrokan antara pemberontak dan pasukan militer di wilayah Tajik timur Gorno-Badakhshan.

Keengganan CSTO untuk campur tangan di Kyrgyzstan dan Tajikistan mengangkat pertanyaan tentang misi dan kemampuan sebenarnya dari  blok militer.

Blok tersebut berada di bawah tekanan yang lebih besar ketika ketegangan  Rusia dengan Barat semakin intensif  setelah konflik Ukraina mulai pecah pada tahun 2014. Moskow dituduh terlibat  dalam konflik Ukraina timur.

Sementara itu, negara-negara Eurasia – termasuk anggota CSTO Belarus dan Armenia – mulai mengevaluasi kembali hubungan mereka sendiri dengan Barat ketika Kiev melakukan reorientasi kebijakan luar negeri yang jauh dari Rusia. Meskipun Moskow terus memimpin latihan militer bersama dan sesi pelatihan dengan rekan-rekan CSTO, blok tersebut tetap retak.

Next: Kemajuan Terhenti

Nasib Rusia mulai berubah pada 2016 ketika Barat  terperosok dalam krisis ekonomi  dan pergolakan politik. Dari Brexit sampai pemilihan presiden kontroversial Amerika Serikat, dan gangguan di barat telah memberikan Rusia kesempatan untuk mendapatkan kembali beberapa pengaruh yang  hilang di bekas lingkup Soviet.

Dalam beberapa bulan terakhir, Moskow telah menandatangani kesepakatan kerja sama militer baru dengan Belarus, Armenia, Kazakhstan dan Tajikistan.

Namun demikian, kemajuan ini belum diterjemahkan ke dalam kemajuan blok secara keseluruhan. Hal ini terlihat dalam penundaan berulang pemilihan kepala CSTO baru, yang terutama disebabkan oleh kurangnya  kuorum yang diperlukan untuk memilih pada calon.  Presiden Kazakhstan Nursultan Nazarbayev gagal untuk menghadiri pertemuan puncak Oktober 2016 CSTO, sementara delegasi Belarusia tidak hadir pada pertemuan puncak blok itu pada Desember 2016 itu.

Ketidakhadiran mereka mungkin tidak kebetulan. Menurut beberapa laporan, Rusia mendukujng  Armenia untuk memimpin blok ini. Langkah tersebut menegaskan dukungan Moskow untuk Yerevan setelah Kremlin mengadopsi posisi netralitas April lalu dalam konflik terbaru Armenia  dengan Azerbaijan atas wilayah separatis Nagorno-Karabakh.

Karena Kazakhstan dan Belarus mempertahankan ikatan yang kuat ke Azerbaijan, ada spekulasi bahwa negara itu tidak bersedia menerima calon Armenia sebagai sekretaris jenderal CSTO berikutnya.

Beberapa bulan mendatang tidak akan mudah bagi blok tersebut karena mencari solusi untuk mengisi lowongan kepemimpinan dan isu-isu yang memecah belah seperti status Nagorno-Karabakh. CSTO tidak pernah menjadi koalisi sangat kohesif dan sengketa Sekjen blok berikutnya dapat merusak persatuan lebih jauh.

Ini bukan berarti  mengatakan bahwa CSTO ditakdirkan untuk menjadi tidak relevan atau langsung runtuh.  Rusia bisa memilih untuk menyelesaikan masalah suksesi Bordyuzha dengan  mencalonkan tokoh yang kurang kontroversial, seperti calon etnis Rusia yang lain.

Moskow juga dapat mendukung integrasi yang lebih besar antara sistem senjata CSTO dan inisiatif pertahanan rudal saat blok terus terlibat dalam militer dan upaya bersama kontraterorisme.

Namun demikian, CSTO akan sulit untuk  menjadi aliansi militer setara dengan NATO. Sebaliknya blok akan berfungsi sebagai platform untuk kerja sama pertahanan yang terbatas. Moskow sepertinya akan fokus  menggunakan hubungan bilateral daripada infrastruktur CSTO untuk meningkatkan kekuasaan atas tetangga Eurasia-nya menjadikan blok ini akan semakin sulit berkembang.

 

Exit mobile version