Posisi Recep Tayyip Erdogan sebagai Presiden Turki semakin kuat setelah menang tipis dalam referendum konstitusi yang ditujukan untuk memperluas kekuasaan presiden. Dengan kemenangan ini akan memungkinkan dia untuk menjabat sebagai pemimpin tertinggi Turki hingga 2029.
Sampai Minggu 16 April 2017 waktu setempat, sebanyak 99,45% suara telah dihitung dengan 51,37% jawaban “Ya” dan 48,63% “Tidak”.
Referendum ini dimaksudkan untuk mengganti sistem parlementer dengan sistem presidensiil. Dalam sistem yang sekarang, jabatan presiden lebih bersifat seremonial.
Namun dua partai oposisi di Turki menuntut dilakukannya hitung ulang. Partai Rakyat Republik (CHP) menuntut 60% suara dihitung ulang karena surat suara tanpa stempel dinyatakan sah.
Di pihak lain, para pendukung Erdogan menggelar pawai di berbagai kota merayakan kemenangan tersebut. Tiga orang dilaporkan tewas tertembak diduga karena perselisihan tentang cara pemungutan suara.
Dalam pernyataannya, Erdogan meminta agar kemenangan kubunya dalam referendum ini dihormati, dan membahas kemungkinan referendum berikutnya untuk membolehkan hukuman mati, yang akan menutup pintu Uni Eropa bagi Turki.
“Hari ini Turki telah membuat keputusan bersejarah,” kata Erdogan di kediaman resminya Istana Huber di Istanbul. “Bersama dengan rakyat, kami telah mewujudkan reformasi paling penting dalam sejarah kita.”
Draft amandemen konstitusi yang diajukan dalam referendum antara lain menyebutkan:
- Pemilihan presiden dan anggota parlemen berikutnya akan digelar pada 3 November 2019.
- Masa jabatan presiden adalah lima tahun, maksimal dua periode.
- Presiden akan memiliki wewenang untuk menunjuk langsung para pejabat publik termasuk menteri.
- Presiden boleh menunjuk satu dari beberapa wakil presiden.
- Jabatan perdana menteri, yang sekarang dipegang oleh Binali Yildirim, akan dihapuskan.
- Presiden akan punya wewenang mengintervensi yudikatif.
- Presiden berwenang menyatakan situasi darurat.
Menurut Erdogan, perubahan-perubahan itu penting dilakukan untuk mengatasi masalah keamanan, sembilan bulan setelah adanya percobaan kudeta yang gagal.
Sistem baru dibutuhkan untuk menghadapi pemberontakan suku Kurdi, gerakan militan, dan konflik di negara tetangga Suriah yang membuat terjadinya banjir pengungsi.
Puluhan ribu orang telah ditangkap dan sedikitnya 100.000 pegawai dipecat atau diskors sejak terjadinya percobaan kudeta Juli 2016. Erdogan menjabat presiden pada 2014 setelah lebih dari satu dekade menjadi perdana menteri