Panglima Militer Myanmar Tetap Benarkan Pembantaian Muslim Rohingya
Tentara Myanmar

Panglima Militer Myanmar Tetap Benarkan Pembantaian Muslim Rohingya

Panglima militer Myanmar Min Aung Hlaing membenarkan tindakan keras militer di negara bagian Rakhine. Pembelaan itu disampaikan setelah PBB berjanji untuk menyelidiki dugaan pembunuhan dan penyiksaan terhadap Muslim Rohingya di sana.

Hampir 75.000 orang dari minoritas dianiaya telah melarikan diri ke Bangladesh setelah militer melancarkan operasi di bagian utara negara tersebut untuk menemukan militant Rohingya  yang menyerang pos perbatasan polisi pada bulan Oktober.

Penyelidik PBB percaya pasukan keamanan kemungkinan telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Minggu lalu Dewan HAM PBB setuju untuk mengirimkan misi pencari fakta internasional independen, dengan maksud untuk  menjamin akuntabilitas dan menegakkan keadilan bagi para korban.

Myanmar telah lama menghadapi kecaman karena perlakuannya terhadap lebih dari satu juta Muslim Rohingya yang tinggal di negara bagian Rakhine yang ditolak sebagai imigran ilegal dari Bangladesh atau dikenal dengan sebutan “Bengali” oleh Myanmar. Meskipun banyak dari mereka telah tinggal di sana selama beberapa generasi.

Berbicara kepada banyak orang yang berkumpul di ibukota untuk hari angkatan bersenjata, kepala militer Min Aung Hlaing membela kampanye militer.

“Bengali di negara bagian Rakhine bukan berkebangsaan Myanmar tetapi imigran,” katanya Senin 27 Maret 2017 sebagaimana dilaporkan Channel News Asia. “Serangan teroris yang berlangsung di Oktober 2016 mengakibatkan gangguan politik.”

Sementara itu, pemerintah sipil Myanmar yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi  menolak penyelidikan PBB dengan  mengatakan setiap misi  pencari fakta internasional  justru akan semakin mengobarkan masalah dan bukannya menyelesaikan persoalan.

Militer yang kuat negara itu sampai saat ini memerintah Myanmar dengan tangan besi dan membangun reputasi terkenal karena pelanggaran hak asasi, terutama ketika melakukan operasi terhadap pemberontak etnis yang bergolak.

Hampir semua Rohingya ditolak kewarganegaraan dan terpaksa hidup dalam kondisi seperti apartheid, sementara puluhan ribu dari mereka telah berada pada kamp-kamp mengerikan sejak kekerasan mengusir mereka dari rumah mereka pada tahun 2012.

Bulan ini komisi yang dipimpin oleh mantan Sekjen PBB Kofi Annan untuk menyelesaikan masalah di Rakhine merekomendasikan kamp-kamp itu ditutup dan mengatakan pembatasan kebebasan bergerak harus dihapuskan.