Pada Perang Besar seperti Perang Dunia I, bomber merupakan konsep yang relatif baru. Dan seperti halnya pesawat era perang selalu memiliki banyak masalah. Pemboman awal dilakukan dengan tradisional.
Badan pesawat tidak kuat untuk ditempelkan bom apalgi di bagian sayap. Pilot akan terbang ke sasaran kemudian melemparkan bom keluar dari pesawat. Bukan radar, GPS, infra red yang membimbing bom untuk sampai ke sasaran dengan tepat. Tetapi hanya doa yang mengiringi lemparan sang pilot bisa jatuh tepat di target yang dituju.
Pemboman pada waktu itu memberi manfaat terutama untuk menjatuhkan mental musuh. Selain itu kerusakan yang ditimbulkan juga cukup besar. Namun pemboman yang terlalu sering akhirnya tidak lagi memberi tekanan psikologis. Dalam pertempuran Inggris misalnya, pemboman di London menjadi hal yang biasa. Bahkan kerap terjadi ketika pemboman sedang berlangsung, masyarakat beraktivitas seperti biasa. Mereka menyebut pemboman seperti cuaca saja yang dihadapi dengan santai.

Kelemahan lain tentu saja korban sipil tidak bisa dihindari. Selain itu pesawat bomber juga rentan serangan. Apalagi kemudian muncul pesawat pencegat sejak era 1960 dan juga rudal. Selain itu untuk membangun bomber juga butuh biaya yang sangat besar.
Zaman keemasan pemboman tanpa diragukan lagi adalah era Perang Dunia Kedua. Pada perang ini bom diproduksi dalam jumlah besar dan ugal-ugalan. Pembom menengah dan berat sebagian besar digunakan terhadap target stasioner. Pembom ringan / Dive sebagian besar digunakan untuk memberondong instalasi atau pasukan darat.
Bomber awal yang paling sukses adalah S.M. 79 Sparveiro yang membawa bomb menengah seberat 1.250 kilogram. Pesawat ini benar-benar menjadi andalan Italia saat ikut masuk dalam perang yang terjadi awal 1940-an. Sementara sekutu Italia, Jerman menggunakan Heinkel He-111 yang sukses menghancurkan target penting.
Kedua pesawat itu adalah pembom kelas menengah. Jerman memang jarang membangun bomber kelas berat dan memilih untuk mengirim pembom menengah secara bergelombang dan cepat. Strategi ini terbukti sangat berharga melawan Polandia.
Mereka bisa menghancurkan kota dalam hitungan jam. Hal yang sama ketika Hitler meneror Rotterdam dengan bom. Sebuah insiden terkenal di mana Goering Luttwaffe menghancurkan kota utama Rotterdam dari udara. Kejadian yang kerap dikutip oleh orang-orang anti-bom karena begitu parah dan banyaknya korban dari kejadian tersebut.
Lebih rinci mari kita lihat bomber masing-masing negara di era Perang Dunia II