
Tapi contoh yang paling terlihat adalah ketika RMAF berencana untuk membeli jet tempur multirole untuk menggantikan MiG-29 yang sudah cukup tua. Rencana ini sudah dibangun sejak 2010 tetapi hingga sekarang tidak ada kepastian.
Menteri Pertahanan Hishammuddin mengatakan kepada media pada Januari bahwa keputusan tentang jet tempur multirole akan dilakukan sebelum 2020, tetapi dia mengiingatkan bahwa kesepakatan apapun akan bergantung pada perekonomian Malaysia.
Pada bulan Oktober 2016, dia juga mengatakan bahwa pilihan diciutkan pada Dassault Rafale dan Eurofighter Typhoon sedangkan Boeing F / A-18 E / F Super Hornet dan Saab Gripen telah dikesampingkan.

Meskipun telah ada pernyataan ini, Boeing dan Saab terus memasarkan jet mereka ke Kuala Lumpur. Saab kini juga menawarkan Gripen E, yang akan siap pada tahun 2020, dengan opsi untuk menyewa Gripen C / D pada masa tunggu hingga pesawat pesanan tiba.
Perusahaan Sistem Teknologi Aerospace Malaysia juga telah menawarkan rencana peningkatan MiG-29, tetapi sumber industri mengatakan RMAF lebih memilih pesawat baru. Sementara itu, Angkatan Udara Malaysia terus menerbangkan MiG-29 yang tersisa yang diperkirakan tinggal enam unit dan kapasitas operasionalnya juga telah berkurang.
Pesawat tempur RMAF lainnya yakni 18 Sukhoi Su-30MKM dan 8 F / A-18 Hornet, beroperasi seperti biasa. Terbatasnya jumlah airframes, menimbulkan tantangan karena wilayah udara yang luas serta kebutuhan latihan. Negara ini secara geografis terbagi menjadi dua yakni Peninsular dan Malaysia Timur yang mewajibkan RMAF untuk memutar detasemen tempur mereka.
Sebagaimana dilaporkan Flightglobal Senin 13 Maret 2017, pemindahan permanen dari pangkalan Kuantan di Semenanjung Malaysia ke pangkalan Labuan di Pulau Labuan, di Malaysia Timur yang diisi dengan skuadron 6 dengan pesawat Hawk 208 telah mengurangi kebutuhan untuk rotasi tempur.